KONTEKS.CO.ID – Pengakuan dan penyesalan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap 12 kasus pelanggaran berat hak asasi manusia hanyalah ilusi dan retorika kosong jika tidak diikuti dengan kebijakan dan tindakan konkrit
“Karena itu, YLBHI mendesak pengakuan dan penyesalan tersebut harus dibuktikan secara konkrit melalui proses hukum, tindakan dan keputusan-keputusan strategis,” kata Ketua YLBHI M Isnur dalam rilisnya, Jumat 13 Januari 2023.
YLBHI berpendapat Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPP HAM) tidak lebih dari pencitraan Pemerintahan Presiden Joko Widodo di akhir masa jabatannya. TPP HAM dinilai hanya memenuhi janji politiknya dan bagian dari langkah pemerintah untuk terus memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM berat, terlebih menjelang Pemilihan Umum 2024.
“Hal ini dapat kita lihat dalam 11 rekomendasi yang disampaikan oleh TPP HAM 11 Januari 2023 melalui Menkopolhukam Mahfud MD kepada Presiden, di mana tidak ada satupun yang menyebutkan adanya dorongan pemerintah untuk akselerasi dan akuntabilitas penegakan hukum kasus-kasus pelanggaran HAM melalui pengadilan HAM berat yang selama ini mangkrak di Kejaksaan Agung,” kata Isnur.
Sejak awal, kata Isnur, YLBHI dan 18 LBH menyoroti pembentukan TPP HAM yang tidak memiliki dasar hukum yang memadai. Pasal 47 UU 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM mengatur bahwa penyelesaian pelanggaran HAM Berat melalui ekstra yudisial harus dibentuk melalui Undang-Undang.
“Jadi mekanisme penyelesaian non yudisial yang hanya berdasar Keputusan Presiden tentu secara legitimasi hukum menjadi patut dipertanyakan kekuatan hukumnya, karena justru bertentangan atau melanggar Undang-Undang,” kata dia.
Keraguan YLBHI terhadap pernyataan Presiden tidak bisa lepask dari rekam jejak Pemerintah dalam menyikapi berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi.
Diantaranya hingga hari ini, pemerintah melalui Jaksa Agung tidak menunjukkan keseriusan mengungkap dan menarik pertanggungjawaban pelaku-pelaku kejahatan kemanusiaan melalui proses penyidikan yang independen, transparan, dan akuntabel oleh Kejaksaan Agung, setelah diselesaikannya 12 penyelidikan kasus oleh Komnas HAM.
Bahkan dalam peristiwa Semanggi I dan II, meski belum dilakukan penyidikan, Jaksa Agung menyatakan kasus tersebut bukan pelanggaran HAM berat dan berujung pada gugatan oleh korban. Selain itu, satu-satunya kasus yang diproses ke penyidikan hanyalah Kasus Paniai. Kasus ini pun dilakukan dengan banyak sekali kejanggalan dan berakhir pada putusan bebas pada terdakwa tunggal.
Selama pemerintahan Jokowi, kata Isnur, alih-alih memutus impunitas melalui upaya pengungkapan kebenaran dan memberikan keadilan dengan menyeret para pelaku ke pengadilan serta menjamin ketidakberulangan. Presiden Joko Widodo justru mengangkat terduga atau nama-nama yang sangat erat dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti Wiranto, Prabowo, Untung Budiharto dan lainnya diangkat dalam jabatan-jabatan strategis pemerintahan/militer.
Terdapat beberapa kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang sudah dalam proses persidangan seperti Kasus Paniai (2014), juga dalam berbagai penyelidikan yakni Operasi Militer Timor Timur (1975-1999), Peristiwa Tanjung Priok (1984), Kasus 27 Juli 1996, Tragedi Abepura (2000), Pembunuhan Theys Eluay (2001), Pembunuhan Munir (2014).
“Tetapi Presiden tidak mengakui peristiwa-peristiwa tersebut dan tidak memasukkannya dalam bagian dari upaya penyelesaian,” terang Isnur.
Indikaasi lainnya, pemerintah terus menggunakan pendekatan keamanan dan kekerasan dalam banyak kebijakan seperti di wilayah Papua maupun saat menghadapi masyarakat yang menggunakan hak asasinya untuk berekspresi termasuk berdemonstrasi di berbagai wilayah untuk mengkritik berbagai kebijakan pemerintah yang inkonstitusional dan melanggar hak warga.
Sampai dengan hari ini, pemerintah tidak juga segera menghentikan pendekatan dan praktik-praktik kekerasan yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia warga negara baik dilakukan oleh Pemerintah maupun melalui aparat represif negara seperti Kepolisian maupun TNI.
“Terlebih, pernyataan Presiden Joko Widodo juga tidak diriingi oleh roadmap bagaimana penyelesaian pelanggaran ham berat masa lalu tersebut akan dilakukan. Pengakuan dan penyesalan tanpa diiringi pengungkapan kebenaran dan kejelasan siapa pelaku dan bagaimana pertanggungjawaban hukumnya justru akan menjadi permasalahan baru,” kata Isnur.
Oleh karena itu, YLBHI mendesak kepada Presiden selaku kepala pemerintahan pemangku tanggung jawab penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM untuk memastikan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat harus diberikan secara holistik.
Hak atas pemulihan korban tentu harus diberikan segera oleh negara secara sungguh-sungguh termasuk hak atas kebenaran, hak atas keadilan agar jaminan ketidakberulangan betul-betul bisa diwujudkan. Caranya melalui diselesaikannya kasus-kasus dalam pengadilan HAM secara fair dan akuntabel serta penghukuman bagi pelaku yang bersalah.
“Mendorong pihak berwenang sebagaimana mandat UU Pengadilan HAM untuk segera melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta mengadili secara independen dan akuntabel semua orang yang diduga bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu,” kata Isnur. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"