KONTEKS.CO.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang diajukan oleh karyawan swasta Leonardo Siahaan. Penggugat mempersoalkan khususnya pasal eks koruptor bisa maju sebagai caleg.
Diketahui jelang Pemilu 2024, sejumlah partai telah menyiapkan kadernya untuk maju sebagai calon anggota legislatif. Ada banyak caleg adalah eks koruptor.
Pasal yang digugat ke MK dinilai memperbolehkan eks koruptor menjadi caleg tanpa menunggu masa lima tahun sebagai syarat maju caleg.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Anwar Usman dipantau melalui kanal YouTube Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Kamis 1 Desember 2022.
Permohonan yang dikabulkan tersebut terkait dengan larangan mantan narapidana korupsi atau eks koruptor untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif selama lima tahun sejak ia dibebaskan atau keluar dari penjara.
Menurut MK, norma Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Adapun Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu itu menyebutkan, bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi beberapa persyaratan.
Di antaranya, tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Selaku penggugat Leonardo menilai Pasal 240 ayat (1) memberikan pengecualian pada eks koruptor sebagai caleg. Leonardo menilai Pasal tersebut memberi kesempatan para eks koruptor untuk jadi caleg.
Dengan diterimanya sebagian permohonan pemohon, MK mewajibkan negara untuk mengubah ketentuan tersebut menjadi sebagai berikut. Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi beberapa persyaratan.
Satu, tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.
Dua, bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana. Lalu yang ketiga, mereka bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Menurut MK, masa tunggu lima tahun setelah terpidana menjalankan masa pidana adalah waktu yang cukup untuk melakukan introspeksi diri dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya bagi calon kepala daerah, termasuk calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Meskipun begitu, MK tetap memperbolehkan mantan koruptor mencalonkan diri sebagai anggota legislatif selama mereka telah melewati jangka waktu lima tahun setelah masa hukuman.
Berikutnya, mereka juga harus jujur atau terbuka mengumumkan kepada publik mengenai latar belakang jati dirinya. Ketentuan tersebut ditujukan agar mantan narapidana korupsi atau koruptor tidak kehilangan hak politik sebagai warga negara Indonesia. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"