KONTEKS.CO.ID – Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi mengusulkan agar kenaikan pajak hiburan sebesar 40-75 persen ditinjau ulang.
Keputusan manaikkan pajak hiburan hingga 75 persen pelu dipertimbangkan dengan prinsip kehati-hatian. Sebab, Indonesia masih berada pada masa transisi pemulihan pasca Covid-19. Termasuk sektor pariwisatanya.
Dilanjut Dede Yusuf, pemerintah dinilai tidak arif jika meningkatkan pemasukan negara lewat pajak saat pelaku industri hiburan sedang berusaha bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi negara.
Karena itu, ia mengingatkan pemerintah harus melibatkan para pelaku industri dalam pembahasannya, agar angka yang ditetapkan rasional.
Dede Yusuf menegaskan agar pemerintah tidak sepihak dalam pembahasan penentuan pajak hiburan.
“Ketika pandemi berakhir, sektor pariwisata itu bangkitnya paling belakangan. Tahun 2022 baru bisa bangkit dan tahun ini sedang ‘survive’. Kalau naik dengan angka pajak seperti itu, apakah bisa hidup industri hiburan di Indonesia ini?” ujar Dede Yusuf usai Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa, 16 Januari 2024.
“Saya harap kebijakan ini ditinjau ulang oleh pemerintah dengan mempertimbangkan aspirasi para pelaku industri hiburan,” ujarnya lagi.
Perlu diketahui, pajak hiburan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Merujuk pada pasal 55, ada 12 subjek pajak untuk Jasa Kesenian dan Hiburan.
Seperti tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu, pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana, kontes kecantikan, kontes binaraga.
Kemudian pameran, pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap. Pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor, permainan ketangkasan olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran.
Lalu rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang, panti pijat dan pijat refleksi dan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Jika diperhatikan, pajak hiburan Indonesia dinilai naik signifikan hingga minimum 40 persen. Angka ini menempatkan Indonesia pada posisi teratas dibandingkan Singapura sebesar 15 persen, Malaysia sebesar 10 persen, dan Thailand sebesar 5 persen.
Mewakili Komisi X DPR, Dede menyampaikan agar antarlembaga pemerintah saling bersinergi dalam melahirkan sebuah kebijakan. Ia tidak ingin upaya pemerintah untuk menaikan pemasukan negara lewat pajak malah berdampak buruk pada industri pariwisata di Indonesia.
“Daya beli masyarakat belum naik saat ini. Pariwisata di Indonesia juga sedang berusaha bertahan. Oleh karenanya, saya melihat perlu ditinjau ulang jumlah besarannya (persentase pajak hiburan). Kalau ingin meningkatkan pemasukan lewat pajak, perlu diperhatikan aspirasi para pelaku usaha industri hiburan,” katanya.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"