KONTEKS.CO.ID – Indonesia punya beberapa satuan militer elite dan menjadi kebanggaan, yakni Satuan 81 Kopassus (AD), Detasemen Jala Mangkara (Denjaka) milik AL, dan Detasemen Bravo (Den Bravo) kepunyaan AU.
Detasemen Penanggulangan Antiteror 81 atau Gultor adalah pasukan antiteror pertama milik tentara Indonesia. Satuan yang kini lebih populer dengan sebutan Sat 81 Kopassus ini terbentuk pada 30 Juni 1982.
Nama ’81’ merujuk pada tahun terjadinya operasi pembebasan sandera di Bangkok saat pembajakan pesawat Garuda Indonesia ‘Woyla’ pada Maret 1981. Saat itu, sukses besar Kopassus menggulung lima orang pembajak dalam waktu kurang dari tiga menit mengundang decak kagum dunia.
Hingga kini, hampir tidak ada operasi militer yang tidak melibatkan Sat 81 Kopassus. Selain menanggulangi teror, di awal pendiriannya pasukan khusus ini selalu ikut dalam pengamanan perjalanan Presiden Soeharto ke luar negeri maupun kunjungan kerja di dalam negeri.
Setiap anggota dari pasukan khusus ini wajib menguasai satu spesialisasi seperti intelijen, kontra intelijen, penanggulangan teror, perang kota, pendaki serbu, penembak runduk, dan lain-lain.
Ternyata, satuan militer elite pertama Indonesia berguru pada satuan polisi bernama GSG-9. Bagaimana ceritanya?
Berawal dari Ide Benny Moerdani
Dalam buku “Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan”, Julius Pour menulis bahwa pada dekade 1970-an marak terjadi pembajakan pesawat dan penyanderaan penumpang sebagai modus operandi teroris di berbagai negara. Dengan membajak pesawat, teroris bisa langsung memperoleh publikasi yang murah dan meluas.
Melihat kondisi ini, Kepala Pusat Intelijen Strategis (Kapusintelstrat) Letnan Jenderal Leonardus Benyamin Moerdani berinisiatif mendirikan sebuah pasukan khusus antiteror berdasarkan analisis intelijen tentang ancaman keamanan.
Benny, sapaan akrabnya, menginginkan pelaksanaan studi banding ke satuan antiteror lain di Korps Speciale Troepen/KST (Belanda), Special Air Service/SAS (Inggris), GSG-9/Grenzschutzgruppe 9 (Jerman Barat), dan US Special Force (Amerika Serikat).
Pada awal 1979, Benny Moerdani memanggil Letnan Kolonel Sintong Panjaitan, Asisten 2/Operasi Koppasandha yang kini menjadi Kopassus. Ia meminta Sintong untuk menyiapkan pasukan khusus antiteror tersebut.
Sintong kemudian melakukan seleksi dan terpilihlah dua orang perwira terbaik dari Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha), nama Kopassus kala itu. Dua orang itu adalah Mayor Luhut Binsar Panjaitan dan Kapten Prabowo Subianto.
ABRI memutuskan mengirim Luhut dan Prabowo ke Jerman Barat guna menempuh pendidikan antiteror. Namun uniknya, mereka berdua bukan belajar pada pasukan militer elite, melainkan menimba ilmu dari polisi.
GSG-9, Sekolah Antiteror Tersulit
Luhut dan Prabowo belajar di satuan polisi elite Grenzschutzgruppe 9 (penjaga perbatasan Grup 9) yang populer dengan singkatan GSG-9. Kini namanya berubah menjadi GSG–9 der Bundespolizei. Nama ini bukanlah satuan militer pasukan antiteror, ini adalah polisi Federal perbatasan di Jerman Barat.
Dalam buku biografi Sintong Panjaitan “Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando”, tercatat bahwa pendidikan anti teror di GSG-9 berlangsung selama 22 minggu. Selama 13 minggu pertama, mata pendidikan meliputi tugas-tugas kepolisian, masalah hukum, kemampuan menggunakan berbagai jenis senjata, dan bela diri karate.
Namun bedanya, penekanan bidang akademik di GSG-9 ini lebih besar ketimbang pendidikan di satuan antiteror di negara-negara lain. Ini yang menjadi alasan ABRI memilih satuan ini sebagai kawah candradimuka untuk menggembleng Luhut dan Prabowo.
Apalagi pendidikan antiteror di GSG-9 termasuk paling sulit di dunia. Rata-rata persentase kelulusan siswa yang hanya 20% menunjukkan betapa berat dan sulitnya pendidikan antiteror di GSG-9. Hebatnya, Luhut dan Prabowo sukses menyelesaikan pendidikannya.
Sekembalinya Luhut dan Prabowo ke Indonesia, berbekal ilmu dari GSG-9, keduanya kemudian membentuk dan melatih pasukan antiteror yang terorganisir. Luhut menjadi komandan pertama pasukan tersebut, sementara Prabowo menjadi wakilnya.
Sebagian besar personel awal Sat 81 pasukan adalah eks anggota tim pembebasan sandera Woyla di Bangkok.
GSG-9 Terbentuk Akibat Black September
Pasukan khusus Polisi Federal Jerman ini sampai saat ini dianggap sebagai salah satu unit khusus terbaik di dunia. Kelahiran pasukan elite polisi Jerman Barat ini berawal dari tragedi pembunuhan oleh kelompok Black September.
Pada 5 September 1972 dini hari, sekelompok milisi Black September (salah satu faksi di PLO) menerobos masuk ke sebuah apartemen tim Israel di desa Olimpiade.
Mereka menyandera belasan atlet dan membunuh dua anggota atlet Israel yaki pelatih gulat Moshe Weinberg dan atlet angkat besi Josef Romano. Kejadian ini berlangsung di tengah pelaksanaan Olimpiade Munich 1972.
Pemimpin kelompok itu, Luttif Afif dengan nama samaran Issa, berusia 35 tahun, mengajukan sejumlah permintaan. Pertama, Israel membebaskan 234 tahanan — sebagian besar warga Palestina — di penjara negara tersebut. Mereka juga menuntut pemerintah Jerman membebaskan dua orang pemimpin kelompok teroris Baader-Meinhof dari penjara.
Pemerintah Jerman Barat setuju untuk memindahkan kelompok itu bersama sandera dengan helikopter ke pangkalan udara Fuerstenfeldbruck di luar kota Munich. Namun diam-diam, Jerman Barat menyiapkan rencana sebuah operasi penyelamatan di pangkalan udara tersebut.
Ternyata polisi Jerman Barat tidak siap. Mereka tidak dapat menyelesaikan situasi dengan baik. Akibatnya, sebelas orang Israel, lima orang Palestina, dan satu anggota polisi Jerman tewas.
Belajar dari pengalaman itu, Jerman Barat lalu membentuk pasukan elite yang proyeksinya memiliki kemampuan antiteror yang mumpuni.
Ulrich Wegener, Komandan Pendiri Veteran PD 2
Pemerintah negara itu lalu menugaskan Kolonel Ulrich Wegener untuk membentuk pasukan ini. Saat itu Wegener adalah petugas penghubung polisi Federal untuk Kementerian Dalam Negeri Jerman Barat.
Wegener sendiri sejak muda sudah ikut pertempuran dalam perang dunia. Ia ikut wajib militer saat remaja dan terjun dalam pertempuran Berlin. Sebuah pertempuran yang mengakhiri rezim Nazi dan menghentikan keterlibatan Jerman dalam Perang Dunia 2.
Ia sempat menjadi tawanan perang pasukan Amerika dan kemudian kembali ke Jerman Timur untuk menyelesaikan sekolahnya.
Tidak betah dengan pemerintahan komunis di Jerman Timur, Wegener kemudian melarikan diri ke Jerman Barat dan mulai bergabung dengan polisi.
Sebagai komandan pendiri GSG-9, Wegener adalah legenda penanggulangan terorisme di Jerman Barat. Banyak medan laga yang ia terjuni saat memimpin GSG-9.
Sebelum mendirikan GSG-9, Wegener sendiri pernah menjalani pendidikan antiteror di SAS Inggris dan pasukan elite Israel, Sayeret Matkal. Oleh sebab itu Wagener tahu benar apa yang harus ia lakukan terhadap unit khusus ini.
Wegener merancang beberapa kurikulum pelatihan GSG-9, antara lain taktik dan metode mengamankan lokasi, membungkam target, dan mengidentifikasi pelaku. Ada pula materi melacak tersangka dan menembak tepat dari jarak jauh.
Saat Luhut dan Prabowo menimba ilmu antiteror di GSG-9, Wegener memang sudah tidak menjadi komandan. Saat itu komandan GSG-9 adalah Klaus Blatte yang sebelumnya adalah wakil Wegener.
Wegener memimpin GSG-9 sejak 1972 hingga 1980. Setahun setelah Wegener lengser barulah Luhut dan Prabowo belajar di sana. Namun demikian ia tetap masih memantau perkembangan pasukan elite antiteror tersebut.
Reputasi GSG-9 Melambung
Nama GSG-9 sendiri melambung ketika sukses menyelesaikan misi dengan sandi operasi Freurzauber atau ‘sihir api’ pada musim gugur 1977.
Ketika itu sekelompok teroris Palestina yang menamakan diri Komando Martir Halima membajak pesawat Lufthansa penerbangan 181 pada 13 Oktober 1977. Para teroris menyandera 86 penumpang dan lima orang awak pesawat selama empat hari dan membawa pwsawat ke Bandara Mogadishu, Somalia.
Operasi pembebasan sandera dibuka dengan tembakan pengelabuan oleh Ranger Somalia dari arah depan pesawat
Tepat pukul 02.07, Ulrich Wegener dan 30 anggota GSG-9 tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam pesawat dari dua pintu darurat.
GSG-9 memulai sergapan dengan seruan berbahasa Jerman agar setiap penumpang tiarap. Mereka segera menembak orang-orang yang tetap berdiri karena tak mengerti arti seruan itu.
Dalam tembak-menembak di kabin pesawat, seluruh penumpang dan tiga awak (yang tersisa) selamat. Sementara tiga dari empat pelaku tewas, dan seorang lainnya cedera.
Atas prestasi pembebasan pesawat yang juga diawasi perwira SAS Inggris, komandan satuan polisi khusus Israel, Tzvi War, di Tel Aviv menyebut GSG-9 sebagai pasukan antiteroris terbaik di Dunia.
Pemerintah Jerman Barat membolehkan publikasi atas operasi ‘sihir api’. Namun untuk operasi-operasi yang lain, yang jumlahnya lebih besar sekitar 1.500 operasi, kepolisian Jerman sepakat untuk menutup rapat dan merahasiakannya.
Dalam perkembangannya, kini kepolisian Jerman melengkapi GSG-9 dengan unit kecil baru bernama Beweissicherungs und Festnahmeeinheit plus atau BFE+.
Unit tambahan ini bertugas untuk memburu kelompok teroris setelah mereka beraksi. Ini untuk menutup celah kelemahan GSG-9 yang memang khusus merespons aksi teror di lapangan.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"