KONTEKS.CO.ID – Kisah cinta Tan Malaka sang Bapak Republik sama tragisnya dengan perjuangannya untuk republik ini. Tan tak pernah mendapatkan cinta sejatinya hingga peluru menembus tubuhnya.
Tahun 1913, Tetua Adat Nagari Pandam Gadang, Limapuluh Kota, Sumatera Barat berdebat sengit karena Ibrahim, nama asli Tan Malaka, menolak gelar datuk. Saat itu umur Tan belum genap 17 tahun dan baru tamat dari Kweekschool Fort de Kock (Sekolah Raja Bukittinggi).
Namun dengan berat hati, Ibrahim sebagai anak tertua dari keluarga Simabur akhirnya menerima gelar Datuk, pemimpin adat tertinggi di Minangkabau. Nama lengkapnya menjadi Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka.
Sebagai datuk, Tan membawahkan keluarga Simabur, Piliang, dan Chaniago. Pesta penobatannya digelar tujuh hari tujuh malam.
Bukan tanpa sebab Tan Malaka menerima gelar Datuk. Ibunya, Sinah, mengultimatum Ibrahim: menerima gelar adat atau kawin! Ibrahim memilih opsi yang pertama menerima gelar Datuk.
Rupanya, Tan Malaka memilih menjadi Datuk bukan tanpa sebab. Di hati sang macan ini, begitu panggilan akrab dari teman-teman kuliahnya di Belanda, telah ada gadis lain.
Syarifah Nawawi, Cinta Pertama Tan
Di hati Tan Malaka telah terukir nama seorang gadis Minang yang cantik dan juga pintar. Dengan menerima gelar Datuk, Tan Malaka berharap kelak dapat mempersunting sang gadis pujaannya itu.
Gadis ini adalah cinta pertama dan juga cinta sejati sang Bapak Republik. Meski kemudian mimpi Tan Malaka tersebut tak pernah terwujud.
Cinta pertama Tan itu bersemi kala ia bersekolah di Kweekschool di Bukittinggi. Gadis yang mematahkan hati sang macan adalah Syarifah Nawawi.
Syarifah adalah murid angkatan tahun 1907 di sekolah yang sama. Ada 75 murid di sekolah ala Eropa ini. Menurut Gedenkboek Kweekschool 1873-1908, Syarifah dan Ibrahim angkatan 1907. Jumlah murid di kelas mereka 16 orang.
Syarifah menjadi kembangnya karena satu-satunya perempuan di sekolah itu. Nama Syarifah selalu membuat hati Tan bergetar kencang.
Ketika Tan melanjutkan sekolah di Rijkskweekschool atau sekolah pendidikan guru pemerintah Belanda, dia selalu memikirkan Syarifah. Meski terpisah jarak ribuan mil jauhnya, Tan tak pernah melupakan Syarifah. Dia rajin mengirimkan surat kepada gadis itu.
Namun Syarifah tak pernah sekalipun membalas surat-surat Tan. Cinta Tan bertepuk sebelah tangan.
Menikah dengan Bupati Cianjur
Sebetulnya Tan dan Syarifah bisa menjadi pasangan yang sangat serasi. Sedari muda Tan adalah anak yang jenius sehingga mendapat beasiswa ke Belanda. Sementara Syarifah yang cerdas merupakan perempuan Minang pertama yang mengecap sistem pendidikan Eropa.
Syarifah lahir tahun 1896, setahun lebih tua dari Tan Malaka. Ia putri dari pasangan Nawawi Soetan Makmoer, seorang guru bahasa Melayu di Kweekschool Bukittinggi. Ibunya dari Minang bernama Chatimah. Syarifah sendiri anak keempat atau putri ketiga dari 9 bersaudara.
Bagi ayah Syarifah, pendidikan anak sangat penting. Anak-anaknya bersekolah di sekolah-sekolah Eropa yakni Europeesche Langere School (ELS), sekolah Belanda di Bukittinggi.
Setelah tamat, Syarifah melanjutkan ke Kweekschool Bukittinggi, tempat ayahnya mengajar. Setelah itu Syarifah bersama dengan saudara perempuannya Syamsiah, dikirim ayahnya ke Salemba School di Batavia untuk melanjutkan pendidikan.
Di Batavia, Syarifah akrab dengan seorang perempuan tunangan Bupati Cianjur. Dalam suatu kunjungan liburan ke Cianjur atas ajakan tunangan sang bupati itu, Syarifah akhirnya bertemu dengan Bupati yang bernama Raden Arya Wiranatakoesoema V.
Rupanya Wiranatakoesoema malah jatuh cinta kepada Syarifah. Mereka akhirnya menikah pada Mei 1916. Waktu itu Wiranatakoesoema sudah punya dua istri dan lima orang anak. Wiranatakoesoema kemudian menceraikan kedua istrinya karena ingin menikahi Syarifah.
Cerai Lewat Telegram
Namun rumah tangga Syarifah dengan Wiranatakoesoema hanya bertahan delapan tahun. Pada 17 April 1924, ketika sedang liburan bersama anak-anaknya di di Bukittinggi, ayah Syarifah menerima telegram dari Wiranatakoesoema. Telegram itu dikirim sang Bupati saat dia sedang berada di kapal laut dalam perjalanan naik haji ke Mekkah.
Mien Soedarpo, anak Syarifah menceritakan isi telegram bapaknya yang melarang Syarifah pulang lagi ke Bandung. Wiranatakoesoema menolak Syarifah untuk mendampinginya sebagai Raden Ayu Bandung dengan alasan kurang luwes dengan tradisi tata hidup Sunda.
Saat itu Wiranatakoesoema sudah menjadi Bupati Bandung. Akibat perceraian yang begitu tiba-tiba dan hanya melalui telegram, Wiranatakoesoema mendapat kecaman dari banyak pihak.
Keputusannya menceraikan Syarifah menuai kecaman dari para penulis di koran Belanda dan pribumi. Kecaman bahkan datang dari Haji Agus Salim.
Dari pernikahan itu, Syarifah dikaruniai 3 orang anak yaitu Am, Nelly, dan Minarsih. Minarsih, anak bungsu Syarifah di kemudian hari dikenal sebagai Mien Soedarpo. Dia menikah dengan Soedarpo Sastrosatomo, seorang pejuang kemerdekaan dan menjadi pengusaha besar setelah Indonesia merdeka.
Aktivis Perempuan Pendiri Perwari
Syarifah tegar menerima perceraiannya. Ia tidak dendam kepada mantan suaminya. Sampai akhir hayatnya dia tidak pernah menikah lagi dan menjadi single parent untuk ketiga anaknya
Setelah bercerai, Syarifah dan anak-anaknya tinggal di Bukittinggi sampai tahun 1937. Dia bekerja sebagai kepala Sekolah De Meisjes Vervolg School, yakni Sekolah Lanjutan untuk Anak Perempuan.
Setelah kedua orang tuanya meninggal, pada tahun 1937 Syarifah kembali ke Batavia. Dia menyekolahkan anak-anaknya di Koning Willem III School Batavia. Aktivitasnya pun berlanjut dengan memimpin Sekolah Kemajuan Istri di Meester Cornelis yang kini bernama Jalan Jatinegara, Jakarta Timur.
Tiga anak Syarifah masih berhubungan baik dengan bapaknya di Bandung. Terkadang mereka bertemu dengan Wiranatakoesoema yang kebetulan datang ke Batavia. Tetapi Syarifah sendiri tidak pernah mau menerima kembali mantan suaminya. Perbedaan budaya nampaknya memang menjadi jurang pemisah mereka berdua.
Pada 11 Juli 1955 bersama teman-temannya, Syarifah mendirikan Yayasan Panti Wanita Trisula Perwari. Perwari adalah sebuah organisasi wanita pejuang Indonesia yang didirikan pada 1945.
Cinta Tan Kembali Ditolak
Setelah Syarifah menjanda, cinta Tan Malaka bersemi kembali. Dia sempat menemui Syarifah dan meminang perempuan itu. Tapi Tan harus menerima kenyataan pahit, lamarannya kembali ditolak oleh Syarifah Nawawi.
Cinta Tan bertepuk sebelah tangan. Dia patah hati dan hingga akhir hayatnya Tan Malaka tak pernah menikah.
Kekasih yang tak dianggap itu akhirnya mengubur cinta bersama jasadnya di Selopanggung, Kediri. Pada 21 Februari 1949, Tan gugur ditembak oleh tentara Republik yang didirikannya.
Dalam liputan khusus Tempo edisi “Bapak Republik yang Dilupakan”, sejarawan Belanda yang menulis biografi Tan Malaka, Harry A Poeze, menyatakan Syarifah tak pernah sekali pun membalas surat-surat itu.
”Tan Malaka? Hmm, dia seorang pemuda yang aneh,” begitu katanya kepada Poeze sewaktu mereka bertemu pada 1980.
Syarifah yang saat itu usianya sekitar 83 tahun tak menjelaskan kepada Poeze letak keanehan orang yang menaksirnya itu.
Syarifah menjanda seumur hidupnya. Dia tak pernah berhenti mengabdi pada masyarakat.
Melalui organisasi-organisasi perempuan yang ia dirikan, Syarifah terus memberikan pengajaran kepada anak-anak perempuan putus sekolah dan tidak mampu. Ia adalah tokoh nasional yang vokal memperjuangkan pendidikan dan hak-hak perempuan.
Msyarakat mengakui sumbangsih Syarifah bagi perbaikan pendidikan wanita di tanah air. Ia juga menjadi simbol emansipasi wanita Minang yang egaliter dan setara.
Syarifah Nawawi meninggal di Jakarta pada 17 April 1988 dalam usia 91 tahun.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"