KONTEKS.CO.ID – Selalu ada cerita menarik tentang Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Inventasi Luhut Binsar Panjaitan. Kemonceran karier Luhut tidak hanya terjadi sejak Jokowi menjadi Presiden pada 2014 saja. Tapi jauh sebelum itu, tatkala karier ‘menteri segala urusan’ ini masih aktif di dinas militer.
Sepanjang karier militernya sejak lulus Akmil tahun 1970 dan berpangkat letnan dua, Luhut ternyata tidak pernah terlambat naik pangkat.
Pun, dia selalu menjadi yang terbaik saat menempuh pendidikan maupun jabatannya. Dua di antaranya adalah peraih Adhi Makayasa sebagai lulusan terbaik Akmil 1970 dan lulusan terbaik peraih Sangkur Perak Kursus Komando pada 1971.
Selain itu, Luhut adalah pendiri sekaligus komandan pertama Detasemen 81 (sekarang Sat-81/Gultor) Kopassus. Saat menjabat Komandan Korem Madiun 081/Dhirotsaha Jaya pada 1995 – satu-satunya jabatan teritorial yang pernah diembannya – lagi-lagi Luhut terpilih sebagai Danrem terbaik dalam rapat teritorial.
Meski begitu, pencapain fenomenal Luhut dalam semua penugasan tidak berbanding lurus dengan jabatannya. Kendati tidak pernah telat naik pangkat, namun jabatan Luhut selalu ada di ‘pinggir’.
Rekan dan senior Luhut selalu berupaya memperjuangkan agar Luhut masuk ke ‘ring 1’ ABRI (saat itu) mengingat prestasinya yang mengilap, tapi selalu mental.
“Saya buka sekarang. Saya sudah berkali-kali berbicara kepada Pak Try Sutrisno, Pak Edi Sudradjat, Pak Feisal Tanjung. ‘Pak, Luhut ini bukan karena dia Panjaitan’. Pak Edi Sudradjat dan Pak Feisal komandan saya sejak lama, sama-sama dengan saya di Kopassus, sama-sama menderita, sama-sama menjalani aktivitas (di medan) operasi, jadi kami mempunya hubungan yang sangat bagus. ‘Jadi tolonglah (Luhut) ini’. Tapi mereka semua menyerah.”
Cerita ini dituturkan oleh Letjen (Purn) Sintong Panjaitan, mantan Danjen Kopassus 1985-1987. Sintong menceritakan kisah itu dalam diskusi di sela peluncuran buku “Luhut” di The Darmawangsa Hotel, 7 Oktober 2022 lalu.
“Dari situ saya tahu bahwa kasihan juga kawan ini, bagaimana nanti nasibnya,” ujar Sintong dalam tayangan di kanal Youtube Luhut Binsar Panjaitan.
Terlepas dari itu, Sintong mencermati bahwa Luhut belum pernah terlambat mengenai kenaikan pangkatnya sejak letnan dua tahun 1970 hingga tidak lagi berdinas di Kopassus. Malah, di Kopassus Luhut bisa dibilang ‘merajalela’.
“Semua komandan memakai dia. Sudah jelas, semua tahu itu,” sebut Sintong, pemimpin pasukan Kopassus dalam operasi fenomenal “Woyla” saat membebaskan sandera pesawat Garuda Indonesia di Bangkok tahun 1981.
Saat di Kopassus, sebut Sintong, karier dan jabatan Luhut mulus tanpa gangguan. Sebab, semua di Kopassus merupakan wewenang Danjen Kopassus. Tetapi saat berpangkat kolonel ke atas, ya atau tidak seorang prajurit menduduki jabatan strategis ditentukan oleh orang nomor satu alias Presiden yang saat itu dijabat oleh Soeharto.
Menyangkut pangkat, sepanjang memenuhi persyaratan maka hal itu tidak mejadi soal. “Tapi mengenai jabatan, nah itu dia permasalahannya,” kata mantan Pangdam Udayana 1988-1992 ini.
Dari Staf ke Staf
Di saat perwira Kopassus lain kariernya tetap di orbit, Luhut yang prestasinya spektakuler bernasib sebaliknya. Jabatannya selalu di ‘pinggir’, menjadi staf. Seusai menjabat Komandan Grup 3 Sandi Yudha Kopassus berlanjut menjadi Danpusdikpassus, Luhut berkutat di jabatan staf. Selanjutnya Luhut menjabat Wakil Komandan Pusat Persenjataan Infanteri (Wadanpussenif) dan naik menjadi Danpussenif.
“Pangkatnya lancar sama seperti perwira lain, tapi wewenangnya tidak pernah seperti panglima yang lain. Jadi jabatan kelas dua sebetulnya, tapi pangkatnya nggak pernah terlambat karena tidak ada orang yang mengatakan bahwa (kerja) dia nggak baik,” urai Sintong.
Sintong yang bekas penasihat militer Presiden BJ Habibie ini melanjutkan, hal yang paling membekas dalam ingatannya tentang Luhut adalah saat dirinya masih menjabat Pangdam Udayana. Kala itu Sintong dipersiapan menjadi Asisten Operasi Pangab. Pangab saat itu dijabat Jenderal Edi Sudradjat.
Para kolonel yang dianggap berprestasi baik, termasuk Luhut, menjalani seleksi untuk mengikuti pendidikan lanjutan untuk jabatan di jenjang yang lebih tinggi. Lagi, petinggi ABRI saat itu menobatkan Luhut sebagai peserta pendidikan terbaik.
“Wah, saya pikir ‘udah Hut, lu nomor satu. Karena ini dari kolonel ke brigjen, pilihlah nanti Kasdam di mana kawan ini antara Kasdam I sampai XVII’. Ternyata begitu keluar pangkat dan penempatan jabatan, Luhut Binsar Panjaitan kebagian ‘jatah’ Wadanpussenif. Pangkat boleh brigjen, tapi bukan Kasdam atau Wadanjen Kopassus,” katanya.
“Jabatan yang paling tidak disukai oleh semua orang ya jabatan (Wadanpussenif) itu. Luhut Binsar Panjaitan dapat jabatan itu. Saya lihat mukanya pasti nggak senang dia,” sambung Sintong membuat hadirin tergelak.
Luhut naik pangkat lagi sebagai jenderal bintang dua tepat waktu. Namun jabatannya tidak bergeser menjadi penguasa teritorial, melainkan tetap di posnya sebagai Danpussenif. Nasibnya tetap sama ketika naik pangkat menjadi jenderal bintang tiga, jabatannya adalah Dankodiklat TNI AD.
“Dapat kita simpulkan bahwa orang ini (Luhut) tidak pernah tidak naik pangkat, tapi setiap naik pangkat mungkin dia nangis,” kata Sintong sembari tertawa.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"