KONTEKS.CO.ID – Malam itu suasana panggung mimbar demokrasi selalu ramai dikunjungi pendukung Megawati Soekarnoputri. Panggung demokrasi dipakai sebagai tempat menumpahkan kekesalan, hujatan, kemarahan kepada Suryadi, otak pelaku kudeta kepemimpinan syah Partai Demokrasi Indonesia pimpinan Megawati saat itu.
Ternyata tidak banyak orang tahu, kalau aktor dari seluruh mimbar bebas itu penggasannya adalah Bob Randilawe dan kawan-kawan aktivis antar kota.
Panggung difungsikan sebagai media agitasi, provokasi dan penggalangan masa oleh para aktivis untuk melawan rezim fasis Orde Baru.
Posko pemuda, mahasiswa dan panggung mimbar bebas didirikan untuk membangun solidaritas, menarik perhatian dan simpatisan. Agar orang awam mau hadir dan terpikat bergabung dengan perjuangan mahasiswa dan mendukung Megawati.
Melalui mimbar bebast itu, oposisi berkesempatan memberikan propaganda bernada perjuangan. Menyemangati mahasiswa, kaum muda dan relawan pendukung PDI Megawati.
Semakin hari makin besar dukungan masyarakat terhadap gerakan politik yang terpusat di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Semua unsur pergerekan tumpah di tempat itu. Masyarat terus berdatangan.
Pemerintah kemudian mencoba melokalisir bahwa perpecahan di tubuh PDI hanya persoalan internal. Hanya sebatas perpecahan dua kubu yang sedang memperebutkan kursi ketua partai.
Tapi sesungguhnya, perpecahan di tubuh PDI bukan dikarenakan konflik internal. Sejatinya itu semua design. Masyarakat sudah paham dan sadar , bahwa sebenarnya Soeharto tidak menghendaki PDI dipimpin oleh anak Soekarno.
Perselisihan idiologi masa lampau tampaknya belum usai. Terlihat bayang- bayang politik Soekarno masih saja bergelayut di wajah Soeharto. Bisa saja keyakinan Soeharto itu semakin kuat bahwa Megawati menjadi ancaman terberat.
Dikawatirkan nantinya keturunan Soekarno akan memimpin perubahan sosial. Dan bisa dipastikan kemudian hari Megawati akan menjadi kerikil tajam di tengah kekuasaan Soeharto. Akhir kesimpulan, Mega harus disingkirkan dari percaturan politik nasional. Rezim Orde Baru dengan leluasa menggunakan tentara untuk melindas demokrasi dan HAM.
Isu demokrasi dan penegakkan HAM kemudian menjadi penting, ketika negara mengalami krisis multidimensi. Tentara dan kekuatan politik lainnya dipakai oleh Soeharto sebagai alat untuk menghabisi lawan- lawannya.
Partai politik dibonsai serta dikendalikan. Bahkan yang tidak sejalan dengan pemerintah, akan di habisi. Demikian pula apa yang dirasakan Megawati pada waktu itu.
Guna mengambil alih PDI dari tangan Megawati, dimunculkanlah skenario devide et imperaa antara Soeryadi versus Megawati. Endingnya, kursi kepemimpinan Megawati diambil paksa dengan cara kudeta dan berdarah.
Wajah politik Indonesia menjadi suram. Tapi meski demikian, pendukung Mega bersama-sama mahasiswa, pemuda tidak pernah menyerah.
Peristiwa 27 Juli 1996 menjadi titik awal kebangkitan perlawanan gerakan rakyat dan mahasiswa Indonesia hingga rezim totaliter itu berakhir. Dari peristiwa Kedongombo, Blangguan Situbongo, kaca piring, penindasan rakyat petani jatiwangi, Cimacan, Badega , meninggalnya Marsinah, dan aktivis mahasiswa yang sudah banyak dipenjarakan Soeharto.
Adalah celah saat mahasiswa harus memiliki isu sentral untuk ditandingkan di atas ring politik.
Ketika aktivis memiliki isu yang dapat dijadikan alat kuat untuk memukul Soeharto. Tidak lain isu 27 Juli menjadi starting point sekaligus entry point gerakan mahasiswa untuk terus menerus melakukan perlawanan kepada rezim tanpa jedah.
Dengan ditekannya gerakan perubahan oleh pemerintah justru membangkitkan perlawanan sengit mahasiswa dan pemuda. Kaum opoisisi semakin gigih dalam berjuang. Kampus kian ramai dan melahirkan tokoh- tokoh baru bersama gerakannya. Tumbuh kesadaran mahasiswa untuk menyingsingkan lengan bajunya menggalang solidaritas.
Demokrasi dan HAM menjadi topik judul yang selalu digaungkan dan menjadi isu sentral mahasiswa sebagai ikon perjuangan. Bahkan dalam protes- protes kampus, tidak sedikit mahasiswa yang ditangkapi dan mereka menanggung risiko dari kampusnya dengan tidak diperbolehkan belajar atau skorsing karena terlibat dalam gerakan.
Mahasiswa justru bukan takut, tapi malah makin militan. Mereka membangun militansi dan radikalisme pemikiran dengan mentraining serta mengkader mahasiswa baru. Tidak sedikit mahasiswa yang tadinya bergaya hidup hedonis, pragmatis kemudian bergabung dalam lingkaran gerakan.
Mereka yang sudah mandiri dan dapat dianggap mampu melakukan agitasi, pengorganisasian akan dilepas dan diminta untuk tampil orasi di atas mimbar atau aksi-aksi mahasiswa.
Bukan suatu yang sulit bagi Bob Randilawe dan kawan-kawan seperjuangan untuk menggalang masa dan mahasiswa. Tokoh aktivis Jakarta ini mendapat atensi dan sambutan baik dari orang-orang dalam PDI Megawati, untuk berjuang bersama-sama mengakhiri rezim totaliter.
Sebelum peristiwa 27 Juli 1996 pecah, mahasiswa dari berbagai daerah datang ke Jakarta untuk memberi dukungan. Tokoh- tokoh aktivis dari berbagai daerah beserta jaringannya membangun solidaritas dan kantong-kantong gerakan di Ibu kota.
Beberapa teman di Jakarta telah menyiapkan tempat untuk mobilisasi. Seperti misal lembaga pimpinan Agus Lenon dan Santoso. Pijar Indonesia, SBSI, LBH Jakarta dan banyak lagi yang ikut memfasilitasi keperluan aktivis yang tiba di Jakarta.
Sedang aktiviskampus dari luar kota difasilitasi oleh Standarkiaa Latief, Okky Satrio Djati dan teman-teman lainnya yang berada diberbagai kampus di Jakarta. Mereka yang datang ke Jakarta adalah delegasi kampus dari Jawa, Bali, NTB, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi.
Wajah-wajah baru aktivis tampak bemunculan. Mereka hadir memberi suport. Biasanya delegasi mahasiswa dan pemuda dari daerah, diminta tampil di panggung demokrasi. Masing-masing delegasi menyampaikan pidato dengan berapi-api dan sifatnya harus melawan rezim.
Panggung demokrasi dan posko pemuda, mahasiswa telah menjadi perekat dari berbagai golongan bagi kaum yang merasa tertindas oleh rezim Orde Baru. Kantor DPP PDI dijadikan tempat mimbar bebas kaum gerakan, bagi siapa saja yang ingin tampil memberi orasi.
Syarat tampil di mimbar harus keras, agiprof atau agitasi provokasi dengan bahasa melawan pemerintah. Jika tidak memenuhi syarat tersebut maka tidak boleh tampil.
Mereka yang sudah tampil pidato di mimbar bebas, sudah mengetahui risikonnya. Bisa-bisa setelah turun dari panggung mimbar bebas, pulangnya dicegat dan diculik oleh aparat keamanan dan dibawa ke markas ruang intrograsi bernama Kremlin atau Kramat Lima.
Aktivis menyebutnya Kremlin karena tempat ini sebagi ruang penyiksaaan. sangat sadis, gelap dan pengap. Aktivis yang sudah masuk Kremlin sulit untuk dapat keluar lagi. Dan biasanya sehabis diinterograsi banyak terdapat luka di tubuhnya, karena sundutan rokok dan dipukuli. Tapi dasar aktivis, tak pernah ada jera.
Tangkap satu tumbuh seribu. Kremlin dan Kramat Tujuh adalah tempat intrograsi dan penyiksaan para aktivis 80-an. Kremlin adalah bagian institusi militer di bawah Kodam Jaya. Tempat ini sebagai lembaga untuk memata-matai para aktivis, khususnya di Jakarta. Atau tepatnya dinamakan lembaga intelejen khusus wilayah DKI.
Di panggung mimbar bebas tersebut orang boleh apa saja bicara asal melawan rezim Orde Baru. Perlawanan kepada Orde Baru kian hari kian bertambah ramai. Hadir secara rutin yakni kalangan mahasiswa, pelajar, LSM, tokoh-tokoh oposisi, purnawirawan. Banyak pula masyarakat baru yang andil ikut memperkuat barisan oposisi.
Suasana semakin menjadi. Aktivis berpikir tidak lama lagi rezim akan tumbang. Maka tokoh- tokoh senior nasionalis ikut turun membantu.
Di rumah budayawan Erros Djarot, aktivis mengadakan rapat gelap untuk menyusun strategi perjuangan . Begitu juga di rumah Bondan Gunawan, seorang nasionalis senior dan tokoh GMNI. Tempatnya dipakai untuk rapat- rapat gerakan dan persinggahan makan malam oleh aktivis dari luar kota.
Hampir semua komponen gerakan ikut dalam perjuangan. Tempat-tempat seperti Lautze milik Hariman Siregar juga aktif dijadikan tempat diskusi politik. Bahkan hingga hari ini, tempat tersebut masih eksis untuk pertemuan eksponen aktivis 80 dan 90 disaat yang lain sudah tutup diri alias gulung tikar. Meminjam istilah Bob Randilawe, “para kaipang sedang berkumpul untuk menentukan nasib bangsa”.
Di Jalan Raya Gondangdia Lama, Menteng, Jakarta Pusat, ada rumah Marsilam Simanjuntak, yang setiap hari rabu malam dijadikan tempat diskusi politik Fordem (Forum Demokrasi).
Di dalamnya ada orang- orang hebat. Gusdur, Rahman Toleng, Rocky Gerung, Fadjroel Racman, Ulil Abshar Abdalla dan penulis juga aktif hadir dalam pertemuan terbatas tersebut.
Kantong-kantong gerakan untuk perubahan kemudian muncul. Banyak wartawan asing dan peneliti luar negeri datang ke Indonesia mewawancarai tokoh-tokoh aktivis, tentang bagaimana nasib kedepan demokrasi dan HAM.
Konteks pergerakan mahasiswa 80 berserta polarisasinya. Ditinjau dari perspektif dan pemikiran Ralf Dahrendorf, filosof berkebangsaan Jerman yang mengkritisi teori Karl Marx, memberi guiden “Konflik hanya muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem”. (M ibnu azzulfa) dalam teori konflik.
Pemikir- pemikir teori konflik, yang sejatinya melihat gerakan mahasiswa Indonesia telah mengelaborasi aksi-aksinya bersama isu-isu kerakyatan. Pukulan telak kaum oposisi yang dialamatkan kepada rezim dan Dwi Fungsi ABRI yang didukung kekuatan oligarkis memberi kesan terpancing dan mulai oleng.
Orde Baru dibangun oleh piramida kelompok pengusaha non pribumi dan militeristik. Kelompok pengusaha non pribumi yang oportunistik itu kemudian lambat laun meninggalkan politik lama.
Semakin pikirannya dalam mensikapi pengusaha non pribumi yang jumlahnya sedikit tapi solid itu semua dibesarkan oleh Soeharto. Mereka melihat dan memonitor perkembangan situasi. Membaca pertarungan politik antara oposisi dengan rezim Orde Baru. Pada akhirnya titik puncak perselisihan terletak pada perebutan kekuasaan yang akar permasalahnnya adalah kapitalisme global.
Penguasa tidak rela kekuasaannya jatuh begitu saja. Aset mereka tidak ingin dirampas oleh rakyat. Kekawatiran konglomerat tersebut kemudian dijadikan alasan bahwa dirinya bukan perampok harta karun sumber daya alam Indonesia. Tapi senyatanya mereka sudah berhasil menguasai dan mengepung kekuasaan Orde Baru.
Dengan dalih itulah maka kaum pergerakan harus bisa merebut kekuasaan. Dengan cara itu maka konflik terus menerus harus dipelihara dan diciptakan. Kaum opoisisi menginginkan terjadi perubahan besar dalam ekonomi, politik, sosial dll
Disanalah terjadi tarik menarik pengaruh antara status quo dengan rakyat. Siapa yang kuat dalam simbolistik maka merekalah yang menang.
Aktivis mahasiswa ingin merebut serta meraih simbol-simbol yang selama itu digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan Orde Baru.
Bob Randilawe dan kawan-kawan mendirikan SPIPD (Solidaritas Pemuda Indonesia untuk Perjuangan Demokrasi) yang beberapa kali diajak diskusi dengan Megawati di kediamannya untuk tukar pikiran tentang situasi politik yang berkembang.
SPIPD dan panggung demokrasi adalah legacy pemuda dan mahasiswa Indonesia yang disumbangkan untuk perubahan yang lebih baik. Dalam sejarah kepartaian Orde Baru. Tidak mungkin anggota partai dapat menggalang kekuatan oposisi yang sedemikian hebat seperti itu, jika tidak ada pemuda dan mahasiswa.
Jauh sebelum ada peristiwa 27 Juli 1996. Mahasiswa, buruh , petani, pemuda sudah terlebih dulu berjuang melawan tirani.
Tokoh-tokoh SMID (Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi) Munif Laredo, Peter Hari , Petrus Bima Anugerah, Garda Sembiring, dan tokoh-tokoh PRD (Partai Rakyat Demokratik) seperti Budiman Soedjatmiko, Nezar Patria, Raharjo Waluyo Jati sudah bergerilya terlebih dahulu memotong rantai kekuasaan Orde Baru.
Peristiwa 27 Juli 1996, atau 27 tahun lalu adalah momentum untuk mempersatukan kelompok-kelompok oposisi untuk kerja lebih keras lagi.
Perubahan yang berakhir dengan jatuhnya rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998, adalah titik kulminasi gerakan mahasiswa, pemuda dan rakyat yang sudah jengah dan bosan terhadap kepemimpinan yang terlalu lama itu.***
Penulis Oleh: Eko S Dananjaya / Saksi Sejarah Eks Ketua Yayasan Pijar.
Catatan Redaksi: Ini adalah opini dari penulis untuk menuangkan ekspresinya mengenai berbagai macam persoalan, Isi merupakan tanggung jawab penulis sendiri.
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"