KONTEKS.CO.ID – Mantan Wamenkumham Denny Indrayana kembali mengkritisi Mahkamah Kontitusi (MK) terkait dengan akan dikeluarkannya syarat umur minimal sebagai calon presiden dan wakil presiden. Kritik ini juga terkait dengan peningkatan elektabilitas Gibran Rakabuming sebagai calon wakil presiden yang mengalami kenaikan mulai Mei hingga Juli 2023.
Sejumlah survei menyatakan bahwa Wali Kota Solo Gibran Rakabuming masuk dalam 10 besar calon wakil presiden. Tapi terkait dengan peluang Gibran menjadi cawapres, terutama melalui putusan MK nanti, menurut Denny Indrayana banyak isu penting yang harus disikapi dengan amat kritis.
“Soal politik, silakan dianalisis oleh ahlinya. Izinkan saya memberikan pandangan dari sisi hukum tata negara. Saya sudah pernah memberikan postingan, bagaimana putusan MK soal uji materi syarat minimal umur capres-cawapres ini menjadi penting untuk dicermati,” kata Denny Indrayana dalam keterangan resminya pada Senin, 24 Juli 2023.
Saat ini hanya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang menjadi pemohon agar syarat umur minimal capres dan cawapres 40 tahun di UU Pemilu karena bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya mesti diturunkan menjadi 35 tahun.
“Mudah dipahami, penurunan umur itu, bukan semata isu hukum, bukan semata soal memperjuangkan hak orang muda, tetapi dibaliknya ada intrik politik untuk membuka peluang Gibran Jokowi masuk ke dalam gelanggang Pilpres 2024,” kata Denny Indrayana.
Denny menyatakan bahwa ikhtiar tersebut sangat salah. Karena secara teori konstitusi dan tata negara, bahwa syarat umur tidak ada kaitan dengan konstitusional.
“Benarkah ikhtiar ini. Saya mengatakan dengan tegas ikhtiar demikian sangat salah,” katanya.
“Secara teori konstitusi dan tata negara, mudah disampaikan bahwa soal umur, tidak ada kaitannya dengan konstitusionalitas (bertentangan atau tidak dengan UUD),” katanya lagi.
Kata Denny, soal umur adalah open legal policy, artinya menjadi kewenangan pembuat undang-undang untuk menentukannya dalam proses legislasi atau parlemen, bukan kewenangan MK untuk menentukan batas umur capres-cawapres melalui proses ajudikasi atau peradilan.
“Karena itu, kalaupun misalnya PSI dianggap punya legal standing sekalipun, permohonan semestinya ditolak,” katanya.
“Namun, itu jawaban cepat dan mudah. Sebagaimana, seharusnyalah isu syarat umur capres-cawapres ini memang tidak sulit,” katanya.
Tapi Denny Indrayana justru mensayangkan persoalan hukum di Indonesia seringkali rumit, karena faktor non hukum, termasuk faktor intrik politik.
“Maka, memahami hukum Indonesia, tidak cukup secara normatif saja. Tidak cukup tekstual, tetapi juga kontekstual sosial politik, yang sayangnya cenderung koruptif dan manipulatif,” katanya.
Karena itu, Denny mengajak untuk tidak hanya berfikir tekstual, tetapi juga menolak penurunan syarat umur capres-cawapres menjadi 35 tahun itu, karena hukum tidak boleh dipermainkan, dan disesuaikan dengan syahwat politik siapapun.
“Justru karena faktor Gibran Jokowi, maka MK akan menabrak norma dan etika konstitusional kalau memutuskan batas umur turun menjadi 35 tahun,” katanya.
Katanya lagi, bahwa MK adalah kekuasaan kehakiman yang merdeka, jelas diatur dalam teks konstitusi. Namun, dalam realitas konteksnya, MK yang merdeka harus diperjuangkan, dan dikondisikan bersih dari pengaruh politik kekuasaan, termasuk dari Presiden Jokowi.
“Saya berpendapat, MK harus dijaga dan dikontrol agar merdeka dari kepentingan politik siapapun yang mendorong peluang pencawapresan Gibran Jokowi,” katanya.
Karena itu kata Denny Indrayana, PSI tidak bisa dilihat sebagai parpol yang independen, tanpa tegak lurus kepada Jokowi secara pribadi. PSI sudah mempunyai rekam jejak yang panjang untuk selalu sejalur dengan kepentingan politik pribadi Jokowi. Termasuk soal dinasti Jokowi dan pencalonan Kaesang di Depok.
“Maka kemungkinan permohonan uji syarat umur cawapres menjadi 35 tahun, mesti dibaca pula sebagai upaya PSI dan Jokowi untuk membuka peluang Gibran Jokowi menjadi Cawapres,— mestinya bukan Capres, di 2024,” katanya.
Kata Denny Indrayana, posisi MK yang ketuanya adalah Adik Ipar Jokowi, tentu menimbulkan persoalan etika konstitusional. Bagaimana masyarakat bisa yakin, standar etik Ketua MK akan berpihak kepada rakyat.
“Kalau Anwar Usman masih merasa etis dan elok bertemu kakak iparnya Jokowi, saat esok harinya membacakan putusan strategis sepenting sistem pemilu legislatif tertutup atau terbuka,” katanya.
Menurut standar etika yang normal, semestinya Anwar Usman, menolak makan malam dengan sang kakak ipar Jokowi, demi menjaga marwah, kemerdekaan, dan kehormatan MK.
Masih panjang catatan kritis yang bisa dituliskan untuk menyoal dan mengawal agar MK tidak mengabulkan syarat umur Capres-Cawapres diturunkan dari 40 menjadi 35 tahun, semata-mata demi membuka peluang Gibran menjadi kontestan Pilpres 2024, dan membangun Oligarki-Dinasti Jokowi.
Semoga ini bukan cawe-cawe Jokowi yang makin merusak konstitusionalitas Pilpres 2024 yang seharusnya Jujur dan Adil.
Lagi-lagi MK harus dikawal untuk menghasilkan keputusan yang sejalan dengan spirit konstitusionalisme, yaitu membatasi kekuasaan yang cenderung koruptif dan seringkali tergoda untuk membangun dinasti.
“Jadi, secara teks dan konteks konstitusionalisme, kalau ditanya apakah salah ikhtiar mengubah syarat umur capres-cawapres melalui putusan MK itu, jawaban saya dengan tegas dan lantang adalah, sangat salah, dan harus dilawan!” katanya.****
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"