KONTEKS.CO.ID – Tradisi mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran sangat kuat dan mengakar. Masyarakat rela melakukan perjuangan keras mengeluarkan banyak biaya, bahkan mengambil risiko apapun, demi bisa mudik dan berkumpul dengan keluarga di saat Lebaran.
Tradisi mudik kian masif ketika Jakarta menjelma menjadi kota metropolitan dan pusat peredaran uang. Manusia dari seluruh penjuru Indonesia merantau ke Jakarta dan sekitarnya demi memperbaiki kualitas kehidupan.
Mereka serempak pulang kampung untuk bersilaturahmi dengan keluarga besar di kampung sekaligus bermaaf-maafan. Momen pilihan para perantau untuk mudik sama, yakni menjelang Idul Fitri.
Terminologi mudik sendiri mulai mengemuka di era 1970-an. Ternyata, tradisi mudik bukan hal yang baru muncul di masa kemerdekaan Indonesia.
Tradisi pulang ke kampung halaman sudah ada sejak zaman Majapahit. Menurut budayawan Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Umar Kayam, tradisi mudik sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit yang berdiri mulai tahun 1293-1527 Masehi.
Bahkan Umar Kayam, mengutip jurnal CICES Vol 4 No 1 Februari 2018 “Mudik dalam Perspektif Budaya dan Agama” (Kajian Realistis Perilaku Sumber Daya Manusia), menelusuri bahwa tradisi mudik sudah ada jauh sebelum Majapahit berdiri.
Mudik, kata Umar Kayam, merupakan tradisi paling dasar dalam masyarakat petani Jawa. “Awalnya kegiatan ini digunakan untuk membersihkan pekuburan atau makam leluhur, dengan disertai doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan,” tulis Abdul Hamid Arribathi dan Qurotul Aini dalam jurnal tersebut.
Mudik Versi Majapahit
Di masa keemasannya, Majapahit tak ubahnya negara besar. Wilayah kekuasaan Majapahit sangat luas, mencapai hampir seluruh Nusantara, bahkan hingga ke Sri Lanka dan Semenanjung Malaka.
Untuk itu Majapahit banyak mengirim pejabat dan orang-orang untuk bekerja di berbagai daerah taklukan mereka. Di waktu tertentu, para pejabat tersebut akan pulang pada untuk menghadap raja.
Selain melaporkan perkembangan situasi di wilayah kerja mereka kepada raja, para pejabat tersebut sekaligus memanfaatkan waktu untuk bertemu keluarga.
Sebagaimana mudik muncul sejak era Majapahit, istilah Lebaran pun bukan berasal dari tradisi Hindu. Menurut sastrawan Emma Salamun istilah Lebaran bermakna selesai. Pulang kampung dilakukan setelah sesuatu selesai, entah itu tugas atau sebuah ritual keagamaan.
Arti mudik memiliki setidaknya dua versi. Versi pertama berasal dari bahasa Jawa yakni akronim dari “mulih disik” atau pulang dulu. Sedangkan versi kedua berasal dari frasa “pulang ke udik”, ke tempat asal atau kampung.
Direktur Utama Nara Bahasa, Ivan Lanin, mengatakan kata mudik sudah ada sekitar tahun 1390 di zaman Majapahit. Penelusuran Malay Concordance Project menemukan kata mudik dalam naskah kuno “Hikayat Raja Pasai” yang berbahasa Melayu.
Kata mudik dalam naskah ini berarti pergi ke hulu sungai kata ini tampaknya berkaitan dengan kata udik atau hulu sungai yang dilawankan dengan ilir atau hilir sungai.
Tradisi mudik ini meredup begitu kekuasaan Majapahit mulai runtuh. Intensitas keluarga atau pejabat ke berbagai daerah juga ikut menurun. Kekuasaan Kerajaan Demak sebagai pengganti Majapahit tak seluas kekuasaan pendahulunya.
Tradisi Ujung
Tradisi mudik saat Lebaran kembali “hidup” di era Pangeran Sambernyowo. Putra Arya Mangkunegara sekaligus cucu Amangkurat IV yang lahir pada tahun 1725 ini sudah bergerilya sejak remaja.
Sejak kecil Pangeran Sambernyowo sudah terpisah dari ayahnya, Arya Mangkunegara. Belanda membuang Arya ke Sri Lanka dan kemudian memindahkannya Cape Town, Afrika Selatan.
Pangeran Sambernyowo bergabung dengan pasukan Sunan Amangkurat V atau Mas Garendi yang menyerang Keraton Kartosuro pada tahun 1742 di masa pemerintahan Pakubuwono II. Setelah Pakubuwono II memindahkan Kerajaan Mataram Islam ke Keraton Kasunanan Surakarta pada tahun 1745, Pangeran Sambernyowo tetap memilih jalan gerilya.
Meski begitu Pangeran Sambernyowo selalu pulang setiap Lebaran untuk Salat Idul Fitri di alun-alun Keraton Surakarta. Setelah Salat Ied, Pangeran Sambernyowo ujung kepada ibunya.
Bagi Pangeran Sambernyowo, pulang ke tempat asal di saat Lebaran menjadi momen yang sangat penting, bahkan mendekati wajib, sebab itulah saat paling sakral. Apalagi sekaligus merayakan Idul Fitri, hari kemenangan setelah sebulan berpuasa.
Beberapa kisah menyebutkan, Pangeran Sambernyowa menganggap ujung kepada ibunya di saat Lebaran adalah ritual yang sangat sakral sebagai bentuk bakti kepada orang tuanya. Kebiasaan Pangeran Sambernyowo itu kemudian ditiru para pengikut dan pengagumnya.
VOC dan Keraton Surakarta selalu berusaha menangkapnya setiap ia mudik Lebaran, namun mereka tak pernah bisa berhasil menangkap sang pangeran.
Setelah VOC, Kasunanan Surakarta, maupun Kesultanan Yogyakarta gagal meredam gerilya Pangeran Sambernyowo, semua pihak sepakat menyelesaikannya lewat Perjanjian Salatiga pada tahun 1757. Isinya, Pangeran Sambernyowo mendapatkan sebagian wilayah Surakarta.
Sejak itu ia mendirikan dan memimpin Kadipaten Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro I. Ia tetap mempertahankan tradisi ujung di setiap Lebaran.
Hingga saat ini, tradisi ujung menjadi salah satu warisan budaya Jawa yang masih berjalan dengan baik di masyarakat Surakarta dan sekitarnya. Aktivitas utama dari tradisi ini adalah berkunjung ke orang tua, tetangga, dan masyarakat dalam suasana kegembiraan Lebaran.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"