KONTEKS.CO.ID – Sekolah Sakola Kembara tengah dikembangkan oleh para mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) guna membuka akses pendidikan bagi warga desa.
Sekolah Sakola Kembara digagas oleh Rommi Adany Putra Afauly, mahasiswa Program Studi Teknik Mesin ITB dan dikembangkan bersama rekan-rekannya.
Mereka membangun fasilitas pendidikan di Sekolah Sakola Kembara untuk dapat dinikmati oleh anak-anak desa secara gratis. Kata “sakola” berasal dari bahasa Sunda yang berarti “sekolah” sedangkan “kembara” berarti “pergi mengembara”.
Bagaimana mereka bisa membangun Sekolah Sakola Kembara? Rommi pun menuturkan perjuangannya bersama rekan-rekannya saat mengembangkan sekolah ini.
Ini adalah sebuah sekolah informal yang mendorong anak-anak di seluruh Indonesia keluar dari kampung halamannya untuk menempuh pendidikan. Sekolah diawali amanah saat menjabat sebagai Kepala Divisi Kolaborasi dan Implementasi di Gebrak Indonesia untuk membangun Desa Cinta Asih.
Tanggung jawab tersebut dibarengi dengan keresahan dalam pribadi saat melihat ketimpangan kualitas pendidikan antara perkotaan dan pedesaan. “Aku ingin membangun pendidikan di desa, bebas di mana saja,” ungkap Rommi.
Kemudian, Rommi mengajak teman-temannya di Gebrak Indonesia untuk kembali membina hubungan antara mahasiswa dan warga Desa Cinta Asih yang sempat terputus akibat pandemi Covid-19.
Menurut dia, tidak mudah untuk tinggal di desa selama enam bulan karena dia dan teman-temannya tetap harus menjalankan perkuliahan online. Sinyal internet yang tidak stabil dan listrik padam yang terjadi setiap malam telah dilalui selama enam bulan.
Gejolak semangatnya membangun pendidikan di desa juga termotivasi oleh keinginan orang tua Rommi untuk menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Meskipun orang tuanya merupakan lulusan SMP dan SMA.
Sebagai keluarga perantauan dari Pulau Sumatera yang menetap di Jakarta, Rommi mengaku tidak mudah. Dia membaca jurnal yang dipublikasikan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dengan judul “Starting Unequal: How’s Life for Disadvantaged Children?”.
Dari jurnal tersebut, dia memahami bahwa kemampuan ekonomi orang tua dapat memengaruhi kemampuan kognitif anak. Fenomena ini nyata dia rasakan selama bersekolah di Jakarta.
Namun, Rommi sangat bersyukur hidup di lingkungan perkotaan dengan eksposur pendidikan yang baik meskipun keadaan ekonomi keluarganya tidak stabil.
Realitas pendidikan yang terjadi di negeri ini menggugah Rommi untuk mengurangi ketimpangan kualitas di kota dan desa. Sejak tahun pertamanya di bangku perkuliahan, dia telah terjun mengajari anak-anak di wilayah pelosok Bandung.
Pengalaman ini menjadi bekal untuknya membuat konsep membangun desa bersama teman-temannya. Dengan mengoptimalkan dana yang diberikan oleh ITB, Rommi dan kawannya mulai melakukan roadshow ke lima sekolah di Desa Cinta Asih.
Mereka menawarkan kegiatan bimbel gratis untuk siswa SMA/MA kelas 12 sebagai persiapan masuk perguruan tinggi.
Namun, hasil yang didapatkan kurang memuaskan. “Waktu itu yang daftar hanya berjumlah dua orang, itu pun siswa kelas 11,” katanya.
Diskusi panjang mereka lakukan untuk menentukan langkah yang harus disiasati terhadap kondisi di lapangan. Kecamatan Cililin, sebuah kecamatan di Kabupaten Bandung Barat, yang berlokasi lebih dekat dengan perkotaan memberi mereka harapan.
Berdasarkan hasil diskusi, mereka memutuskan untuk membagi dua tim, yaitu satu tim untuk tetap berada di Desa Cinta Asih sedangkan lainnya pergi ke Kecamatan Cililin.
Keputusan yang mereka ambil terbilang tepat karena Sakola Kembara berhasil mengirimkan 11 dari 16 siswa MAN Cililin ke perguruan tinggi negeri.
Rommi mengungkapkan kegiatan belajar mengajar di Sakola Kembara masih terus berlanjut. Kegiatan belajar mengajar dilakukan setiap Sabtu pagi hingga Minggu siang.
Pengajar relawan terdiri dari gabungan mahasiswa Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Padjadjaran, dan STKIP Siliwangi.
Selain itu, terdapat beberapa relawan nonmahasiswa yang tergabung dalam tim pengajar. Tak hanya kegiatan belajar mengajar, Sakola Kembara mengadakan kegiatan bimbingan yang tidak hanya berfokus pada urusan akademik.
“Kami memposisikan diri sebagai fasilitator atau kakaknya. Kami bukan guru, tetapi kakak yang hadir untuk menemani mereka karena itu yang dibutuhkan. Untuk urusan belajar itu kuncinya ada di mereka,” jelas Rommi, dikutip laman ITB, Sabtu, 25 Februari 2023.
Selain itu, tim pengajar dari Sakola Kembara terkadang berkunjung ke orang tua siswa untuk meminta doa restu agar cita-cita para siswa tercapai.
Rommi dan tim bersyukur karena mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, baik dukungan material, maupun dukungan moril. Dari dukungan ini, Sakola Kembara masih terus berkembang.
Sakola Kembara adalah bentuk kritik ke pemerintah yang menyatakan adanya ketimpangan pendidikan di Indonesia. “Selama Sakola Kembara masih ada berarti kualitas pendidikan masih belum baik.” tegas Rommi.
Dirinya berharap Sakola Kembara bisa menjadi penggerak pihak-pihak di luar sana yang juga ingin memperbaiki kualitas pendidikan di pedesaan. Rommi memiliki cita-cita besar untuk mendirikan sekolah dengan kurikulum internasional untuk anak-anak di desa secara gratis. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"