KONTEKS.CO.ID – Konflik Keraton Solo sebenarnya bukan kabar baru lagi. Seteru keluarga keturunan raja ini telah berlangsung lama.
Konflik Keraton Solo beberapa hari terakhir kembali memanas setelah upaya pengusiran oleh pihak Keraton Solo Paku Buwono XIII terhadap anak keturunan raja Paku Bowono XII. Bahkan penetapan Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) Purbaya sebagai putra mahkota kini disoal.
Konflik Keraton Solo pada 2021 juga sempat mencuri perhatian publik. Saat itu lima orang, termasuk putri Keraton, terkunci di lingkungan Keraton Solo. Kelima orang itu yakni GKR Wandansari atau Gusti Moeng, GKR Timoer Rumbai, dua penari bernama Warna dan Ika, serta seorang pembantu.
Merangkum dari berbagai sumber, Konflik Keraton Solo ini berawal dari perebutan tahta setelah PB XII meninggal pada 12 Juni 2004. Kala itu Sang Raja yang tak memiliki permaisuri tidak menunjuk putra mahkota.
Akibatnya anak keturunan PB XII saling klaim sebagai pewaris tahta. Dua kubu saling mendeklarasikan diri sebagai raja Keraton Solo.
Mereka adalah Hangabehi yang kala itu didukung kerabat Keraton lainnya dan Tedjowulan. Hangabehi yang merupakan putra tertua dari selir ketiga PB XII mendeklarasikan diri sebagai PB XIII pada 31 Agutsus 2004.
Sedangkan Tedjowulan, yang juga putra PB XII namun dari selir yang berbeda, mendeklarasikan diri sebagai PB XIII pada 9 November 2004. Saat itu Tedjowulan masih aktif sebagai anggota TNI berpangkat Letkol (Inf).
Sejak itulah, Keraton Solo mulai memiliki dua raja alias raja kembar. Kisruh Keraton Solo terus berlanjut meski kedua kubu sepakat berdamai.
Inisiasi perdamaian pada 2012 dilakukan Wali Kota Solo saat itu masih Joko Widodo (Jokowi), dan anggota DPR Mooryati Sudibyo.
Hasilnya, Hangabehi dan Tedjowulan sepakat berdamai dan menandatangani akta rekonsiliasi. Hangabehi yang merupakan putra tertua PB XII tetap menjadi raja, sedangkan Tedjowulan menjadi mahapatih dengan gelar KGPH (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo) Panembahan Agung.
Meski sudah ada rekonsiliasi, kisruh Keraton Solo belum berakhir. Sejumlah keturunan PB XII menolak rekonsiliasi dan mendirikan Lembaga Dewan Adat Keraton. Lembaga itu memberhentikan sang raja.
Lembaga Dewan Adat Keraton Solo berpandangan selama memerintah, Hangabehi beberapa kali melakukan pelanggaran. Salah satu pelanggaran yang sempat jadi perhatian adalah raja tersebut tersangkut tindak pelecehan seksual. Dewan Adat melarang raja dan pendukungnya memasuki keraton. Sejumlah pintu masuk raja menuju gedung utama Keraton Solo dikunci dan ditutup dengan pagar pembatas.
Akibatnya, PB XIII Hangabehi yang sudah bersatu dengan Tedjowulan tak bisa bertahta di Sasana Sewaka Keraton Solo.
Lembaga Dewan Adat sendiri didukung oleh GKR Wandansari, GKRAy Koes Moertiyah, GKR Retno Dumilah, GKR Indriyah serta putri PB XIII, GKR Timur Rumbai Kusumadewayanti dan lainnya.
Saat Jokowi menjadi Presiden, upaya rekonsiliasi kembali dilakukan. Jokowi pernah mengutus anggota Watimpres, Jenderal Purn Subagyo HS, melakukan upaya rekonsiliasi pada 2017.
Namun, upaya ini gagal. PB XII-Tedjowulan tetap berseteru dengan Lembaga Dewan Adat Keraton Solo hingga saat ini. Kini, konflik Keraton Solo kian memanas setelah putra mahkota ditolak. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"