KONTEKS.CO.ID - Saat beberapa negara mulai melonggarkan kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia (BI) justru mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75%.
Sebaliknya, Reserve Bank of New Zealand (RBNZ) memilih menurunkan suku bunga sebesar 0,5% menjadi 4,75%, dalam keputusan yang diumumkan pada Rabu, 19 Februari 2025.
Ini merupakan penurunan suku bunga keempat secara berturut-turut yang dilakukan oleh bank sentral Selandia Baru.
Baca Juga: Film Qodrat 2, Dilema Ustadz Qodrat: Pilih Iman atau Menyelamatkan istri?
Selandia Baru Kejar Pemulihan Ekonomi
RBNZ menegaskan bahwa keputusan ini diambil untuk mendorong kembali aktivitas ekonomi yang melambat dalam beberapa bulan terakhir.
Meski inflasi tetap berada dalam target yang ditetapkan, bank sentral menilai ada ruang untuk melonggarkan kebijakan guna meningkatkan daya beli masyarakat dan investasi bisnis.
"Suku bunga yang rendah akan mendorong belanja konsumsi, meski ketidakpastian ekonomi global meningkat dan memperberat keputusan investasi pelaku usaha," tulis RBNZ dalam pernyataannya.
Baca Juga: Jadwal Tayang The Art of Negotiation, Ada Lee Je Hoon, Sung Dong Il, dan Kim Dae Myung
Langkah RBNZ ini juga berdampak langsung pada penguatan nilai tukar dolar Selandia Baru, karena direspons positif oleh pasar.
Meski demikian, RBNZ tetap memberi peringatan bahwa inflasi bisa bergejolak dalam waktu dekat, terutama akibat faktor nilai tukar dan harga bahan bakar yang masih tinggi.
BI Bertahan dan Pilih Fokus Jaga Stabilitas
Berbeda dengan RBNZ, Bank Indonesia memilih mempertahankan suku bunga acuan BI Rate di level 5,75%, dengan alasan menjaga inflasi tetap terkendali sesuai target pemerintah di kisaran 2,5% plus minus 1% untuk tahun 2025 dan 2026.
Baca Juga: Empat Daerah Otonomi Baru Papua Dapat Prioritas Pembangunan Infrastruktur, Ini Rinciannya!
"Keputusan ini konsisten dengan upaya menjaga agar perkiraan inflasi tetap dalam sasaran yang ditetapkan," ujar Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam keterangannya.
Langkah BI ini juga mencerminkan kehati-hatian dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global, termasuk fluktuasi harga komoditas dan potensi arus modal keluar yang bisa melemahkan nilai tukar rupiah.