KONTEKS.CO.ID – Kesempatan kerja di Singapura makin sulit warga negara Indonesia (WNI) dapatkan. Ini sejalan otoritas setempat memperketat peraturan bagi pekerja asing.
Ketatnya peraturan kesempatan kerja bagi WNI dan warga negara asing lainnya di Singapura bertujuan mengatasi ketidakpuasan masyarakat setempat atas kesempatan kerja.
Ya, salah satu negara dengan perekonomian paling terbuka di dunia sedang mengupayakan tindakan penyeimbangan yang rumit.
Di satu sisi, negara kota di Asia Tenggara ini ingin memikat orang-orang terbaik dan tercerdas di dunia untuk meningkatkan angkatan kerja mereka. Singapura sendiri yang merupakan salah satu negara paling beragam di Asia.
Di sisi lain, pemerintah juga harus meyakinkan penduduk setempat yang bersaing dengan orang asing untuk mendapatkan pekerjaan. Meyakinkan bahwa sistem tersebut juga bermanfaat bagi mereka, sehingga menghilangkan potensi kebencian atau xenofobia sejak awal.
Kesempatan Kerja di Singapura Makin Langka
Aljazeera pada Kamis 11 April 2024 melaporkan, mulai tahun depan, Pemerintah Singapura akan mengubah perhitungan gaji ekspatriat demi kepentingan warga lokal. Yakni, dengan menaikkan ambang batas gaji bagi orang asing yang ingin mendapatkan izin bekerja di negara kota tersebut.
Bulan lalu, Kementerian Tenaga Kerja Singapura mengumumkan bahwa pelamar baru untuk sistem Employment Pass (EP) harus mendapatkan setidaknya upah Rp66,3 juta per bulan. Atau naik dari Rp59,2 juta.
Pelamar yang bekerja di sektor jasa keuangan harus mendapatkan setidaknya Rp74 juta dari sebelumnya Rp66 juta.
“Dengan secara teratur memperbarui gaji yang memenuhi syarat berdasarkan tolok ukur upah yang tertetapkan, kami memastikan adanya kesetaraan bagi penduduk lokal,” kata Menteri Tenaga Kerja Singapura, Tan See Leng, kepada parlemen.
Para analis mengatakan perubahan tersebut tidak mengejutkan bagi pemerintah yang secara rutin mengubah peraturan bagi pekerja ekspatriat. Terakhir aturan mereka ubah pada September 2022. Saat itu pemerintah menaikkan ambang batas gaji sebesar Rp6 juta.
Walter Theseira, seorang profesor dan ekonom tenaga kerja di Universitas Singapura untuk Ilmu Sosial (SUSS), mengatakan, sistem EP pada awalnya bertujuan mengimpor pekerja berketerampilan tinggi untuk mengisi kesenjangan dalam angkatan kerja.
“Kriterianya tampaknya telah terperluas dan pemegang EP juga menjadi lebih umum di pasar tengah,” katanya. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"