KONTEKS.CO.ID – Dewan Eksekutif Dana Moneter Internasional (IMF) pada hari Senin (30/8) menghidupkan kembali program bailout Pakistan setelah terhenti selama enam bulan. Lembaga moneter ini menyetujui tahap pinjaman sebesar $ 1 Miliar dan mengakhiri ketidakpastian yang diakibatkan oleh partai politik Pakistan Tehreek-e-Insaf ( PTI) yang tidak menyetujui kesepakatan dengan IMF.
IMF memprediksi ekonomi Pakistan akan tumbuh sekitar 3,5% namun tingkat inflasi rata-rata diperkirakan 19,9%. Proyeksi ini dibuat sebelum peristiwa banjir yang menewaskan 1000 orang dinegara tersebut. Pinjaman ini merupakan tahap pertama dari total pinjaman senilai $6,5 miliar dan memperpanjang tenggat waktu implementasi persyaratan hingga Juni 2023.
“Keputusan dewan memungkinkan pencairan segera SDR894 juta (sekitar $1,1 miliar), sehingga total pembelian untuk dukungan anggaran di bawah pengaturan menjadi $3,9 miliar,” menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh IMF setelah pertemuan.
Persyaratan IMF Jadi Awal Petaka Pakistan
Dalam keterangannya, IMF menekankan perlunya menaikkan harga listrik dan meningkatkan pajak atas produk minyak bumi (seperti BBM), berdasarkan jadwal yang disepakati antara Pakistan dan IMF.
“Upaya untuk memperkuat kelangsungan sektor energi dan mengurangi kerugian konsisten adalah dengan mematuhi persyaratan kenaikan harga BBM sesuai jadwal yang disepakati,” kata Wakil Direktur Pelaksana IMF Antoinette Sayeh.
Lebih lanjut dikatakannya mengerem laju pengeluaran dan meningkatkan pajak pendapatan sangat penting untuk menciptakan ruang anggaran yang leluasa untuk perlindungan sosial yang sangat dibutuhkan dan memperkuat pelayanan publik. IMF juga menekankan bahwa Pakistan harus tetap mengikuti kebijakan suku bunga tinggi dan nilai tukar yang ditentukan pasar.
“Pengetatan kondisi moneter melalui tingkat kebijakan yang lebih tinggi merupakan langkah yang diperlukan untuk menahan laju inflasi. Ke depan, kebijakan moneter ketat yang berkelanjutan akan membantu mengurangi inflasi dan mengatasi ketidakseimbangan eksternal,” kata wakil direktur pelaksana.
Sayeh menambahkan, mempertahankan kebijakan moneter proaktif dan berbasis data akan mendukung tujuan ini. Dengan mempertahankan nilai tukar mata uang berbasis pasar amat penting untuk menyerap guncangan eksternal, mempertahankan daya saing, dan membangun kembali cadangan internasional.
Pakistan Terjerat Utang IMF Seperti Indonesia
Situasi Pakistan yang mengalami ketidakstabilan ekonomi sudah terjadi sejak tiga tahun silam. Instabilitas politik karena pergantian pemerintahan turut menyumbangkan masalah. Kasus ini cukup mirip dengan apa yang dialami oleh Indonesia. Setelah mendapatkan bailout dari IMF dan menerapkan persyaratannya, krisis sosial dan politik mulai terjadi. Harga harga kebutuhan pokok, tarif listrik, harga BBM dan privatisasi BUMN dan swastanisasi pengelolaan kekayaan alam pun dilakukan. Dan hal ini memicu ketidak puasan dikalangan masyarakat dan oposisi.
Indonesia menandatangani dokumen Letter of Intent (LoI) pada 15 Januari 1998, kala itu Michel Camdessus si Direktur IMF berdiri sambil bersedekap tangan menyaksikan Soeharto menggoreskan penanya diatas kertas kesepakatan. Keduanya lantas berjabat tangan sambil melempar senyum dalam sebuah acara seremoni di Cendana.
Krisis moneter 1997 membuat Indonesia kolaps. Dan untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah berutang ke IMF. Dari komitmen pinjaman senilai 17,36 miliar Special Drawing Rights (SDR), pemerintah hanya mencairkan 11,1 miliar SDR setara US$ 14,9 miliar atau sekitar Rp 93 triliun. Jadi, total pembayaran utang Indonesia ke IMF, baik pokok dan bunga mencapai 13,21 miliar SDR. Adapun Indonesia telah melunasi utang IMF pada 12 Oktober 2006 di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. (*)
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"