KONTEKS.CO.ID – Perdana Menteri Georgia Irakli Garibashvili mengadakan pertemuan dengan Kanselir Jerman Olaf Scholz. Hal ini dilakukan sebagai lobi berkelanjutan Georgia untuk mendapatkan status calon anggota Uni Eropa.
Sebelumnya, pada 23 Juni 2022 Uni Eropa menolak untuk memberikan status kandidat Georgia, padahal ini sebuah langkah penting menuju keanggotaan penuh. Sedangkan dua negara bekas Soviet lainnya, Ukraina dan Moldova, menjadi kandidat. Ketiganya telah mengembangkan hubungan mereka dengan blok tersebut dengan kecepatan yang sama.
Pada tahun 2014 mereka semua menandatangani perjanjian asosiasi dengan UE untuk mendorong kolaborasi politik dan integrasi ekonomi. Lebih dari 80% warga Georgia menginginkan keanggotaan UE dan kemunduran bulan lalu memicu protes anti-pemerintah di ibu kota Tbilisi yang diikuti oleh 60.000 demonstran untuk menyuarakan kekecewaan mereka dan menuntut keanggotaan UE.
Mengapa Georgia tertinggal di jalan menuju aksesi?
Georgia, sebuah negara kecil berpenduduk hampir empat juta warga, telah lama diidentifikasi sebagai Eropa, bahkan jika posisi geografisnya yang jauh, di wilayah Kaukasus Selatan, yang dibatasi oleh Rusia, Azerbaijan, Armenia dan Turki, telah menimbulkan pertanyaan tentang afiliasi kontinentalnya. Georgia merupakan tanah kelahiran Joseph Stalin, pemimpin besar Uni Sovyet setelah Lenin.
Sebagai republik parlementer, negara ini telah membuat langkah besar untuk mengatasi warisan Uni Soviet dan mengadakan pemilihan reguler untuk memilih perwakilan publiknya. Tetapi sistemnya goyah dan mudah dikendalikan oligarki.
Oligarki telah dituduh memberikan pengaruh berlebihan atas kehidupan politik dan kebebasan pers, sementara kebebasan sipil “dilindungi secara tidak konsisten,” menurut Freedom House .
Pada Oktober 2020, krisis politik meletus ketika partai-partai oposisi mengklaim pemilihan parlemen dicurangi dan menolak untuk mengakui kekalahan, memicu polarisasi dan penangkapan polisi. Kelompok-kelompok itu kemudian menolak untuk masuk parlemen sementara partai terkemuka, Georgian Dream, membentuk pemerintahan baru.
Ketika krisis berlanjut, Presiden Dewan Eropa Charles Michel secara pribadi turun tangan untuk menengahi kesepakatan dan membawa semua pihak kembali ke majelis legislatif. Kesepakatan itu juga mengusulkan serangkaian reformasi pemilu dan peradilan. Georgian Dream kemudian menarik diri dari kesepakatan perjanjian.
Daftar reformasi yang diusulkan ke Georgia lebih panjang daripada yang diberikan ke Ukraina dan Moldova, yang diharapkan untuk menerapkan serangkaian langkah-langkah kunci pada akhir tahun ini. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"