KONTEKS.CO.ID – Polisi moral Iran bertindak sadis. Aktivis HAM menuduh polisi moral Iran memukuli seorang gadis karena tidak mengenakan jilbab hingga koma di rumah sakit.
Armita Geravand, 16, pingsan setelah menaiki kereta metro Teheran di stasiun Shohada, pada hari Minggu 1 Oktober 2023.
Para pejabat mengatakan dia pingsan dan merilis rekaman CCTV di mana dia terlihat tertarik dari kereta hingga pingsan.
Kelompok hak asasi manusia, Hengaw, menuduh korban menjadi sasaran “serangan fisik yang parah” oleh petugas polisi moral.
Mereka mengungkapkan, Armita harus menjalani perawatan di RS Fajar di Teheran dengan pengamanan ketat. Ponsel seluruh anggota keluarganya telah tersita.
Pada hari Senin, pihak berwenang menahan sebentar seorang jurnalis perempuan untuk surat kabar Sharq yang pergi ke rumah sakit untuk melaporkan kasus tersebut.
Hengaw, yang berfokus pada etnis minoritas Kurdi di Iran, mengatakan, Armita tinggal di Teheran tetapi berasal dari Provinsi Kermanshah di bagian barat yang mayoritas penduduknya Kurdi.
“(Dia) diserang secara fisik oleh pihak berwenang di Stasiun Shohada… karena apa yang mereka anggap sebagai ketidakpatuhan terhadap kewajiban ‘hijab’,” tambahnya.
Akibatnya, dia mengalami luka parah dan dilarikan ke rumah sakit.
Polisi Moral Iran Bertindak Berlebihan
Dua aktivis hak asasi manusia terkemuka juga mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa ada konfrontasi dengan agen yang menerapkan aturan berpakaian yang ketat.
Sementara itu, Radio Zamaneh yang berbasis di Amsterdam mengutip sumber yang tidak tersebut namanya mengatakan, remaja tersebut terdorong oleh petugas hijab setelah naik kereta tanpa jilbab dan kepalanya terbentur tiang besi.
Pada Selasa malam, Hengaw memposting di Twitter ‘X’. Mereka menyebutnya itu adalah foto Armita yang tidak sadarkan diri di rumah sakit.
Gambar tersebut, yang keasliannya belum terverifikasi BBC, menunjukkan seorang gadis berambut pendek berbaring telentang di tempat tidur dengan kepala terperban dan terikat pada sesuatu yang tampak seperti selang pernapasan.
Kelompok hak asasi manusia juga mengatakan, mereka telah menerima informasi yang menunjukkan bahwa orang tua Armita telah kantor berita negara, Irna, wawancarai di RS Fajr. Wawancara terlakukan di hadapan petugas keamanan tingkat tinggi di bawah tekanan besar.
Irna mengutip pernyataan ibu Armita bahwa mereka telah melihat rekaman CCTV. Mereka menerima bahwa apa yang terjadi pada hari Minggu adalah sebuah “kecelakaan”.
“Saya pikir tekanan darah putri saya turun, saya tidak terlalu yakin, saya pikir mereka mengatakan tekanan darahnya turun,” kata ibunya dalam video yang banyak teredit dan terunggah oleh Irna.
Pembelaan Diri Otoritas Iran
Direktur Pelaksana Metro Teheran, Masood Dorosti, juga membantah adanya “konflik verbal atau fisik” antara Armita dan “penumpang atau eksekutif metro”.
“Beberapa rumor tentang konfrontasi dengan agen metro… tidak benar dan rekaman CCTV membantah klaim tersebut,” katanya kepada Irna.
Rekaman tersebut menunjukkan Armita, dengan rambut terbuka, berjalan ke kereta di peron bersama dua gadis lainnya.
Beberapa saat kemudian, salah satu gadis itu mundur dari kereta dan membungkuk.
Dia dan beberapa penumpang lainnya kemudian terlihat menggendong Armita yang tidak sadarkan diri di lengan dan kakinya sebelum membaringkannya di peron.
Beberapa pengguna media sosial Iran mencatat bahwa video yang pihak berwenang rilis hanya menunjukkan peron dan bukan bagian dalam kereta. Rekaman pintu masuk stasiun, tempat pemeriksaan hijab, juga tidak terilis.
Mengulang Kasus Mahsa Amini
Kasus tersebut juga mirip dengan kasus Mahsa Amini, seorang wanita Kurdi berusia 22 tahun yang meninggal dalam tahanan pada September 2022 setelah polisi moral tahan di Teheran. Tuduhannya mengenakan jilbab secara “tidak pantas”.
Saksi mata mengatakan petugas memukuli korban, namun pihak berwenang menghubungkan kematiannya dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya.
Video CCTV yang memperlihatkan Amini pingsan di pusat penahanan dan foto dirinya di rumah sakit membuat marah banyak warga Iran, dan protes anti-pemerintah meletus di seluruh negeri ketika dia meninggal setelah tiga hari dalam keadaan koma.
Ratusan orang tewas dan ribuan lainnya masuk tahanan dalam tindakan keras yang pasukan keamanan lakukan.
Setahun setelah kematian Mahsa Amini, sebagian besar protes telah mereda. Namun demonstrasi sporadis masih terjadi. Lalu banyak anak perempuan dan perempuan berhenti menutupi rambut mereka di depan umum karena melanggar aturan berpakaian. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"