KONTEKS.CO.ID – Harga BBM subsidi naik mulai hari ini. Dengan melimpahnya sumber daya energi terbarukan di Tanah Air, bisakah Indonesia bahkan dunia lepas dari bahan bakar fosil?
Pendukung energi terbarukan telah berusaha meyakinkan dunia Bahwa ekonomi dapat berjalan hanya dengan angin dan Matahari tanpa biaya yang signifikan bagi warga atau ekonomi yang memanfaatkannya.
Sebuah makalah baru-baru ini yang muncul di jurnal Nature, tepat sebelum COP26 di Glasgow. Hasil penelitian ini berusaha mengirim pesan yang jelas kepada para peserta COP26, dunia tanpa bahan bakar fosil memang mungkin.
Namun, penelitian baru ini mengandalkan asumsi yang tidak realistis. Selain itu, mengabaikan biaya penting yang terkait pengembangan energi terbarukan.
Melansir fraserinstitute.org, penelitian ini menggunakan data angin dan Matahari yang dihasilkan komputer selama 39 tahun untuk menunjukkan energi terbarukan ini dapat memenuhi permintaan listrik tahunan di 42 negara.
Hasilnya mungkin mengejutkan lantaran matahari tidak selalu bersinar dan angin tidak selalu bertiup. Studi menemukan fakta rata-rata negara-negara akan mengalami pemadaman minimal 788 jam per tahun (didefinisikan sebagai jam ketika energi terbarukan tidak cukup untuk memenuhi permintaan listrik).
Untuk konteksnya, itu berarti Anda akan tanpa listrik 9% karena energi terbarukan tidak akan cukup untuk memenuhi permintaan. Selain itu, beberapa negara dalam analisis dapat kemungkinan tidak memiliki listrik 28% karena keterbatasan pasokan.
Ketika para peneliti menambahkan 12 jam penyimpanan energi ke sistem kelistrikan masing-masing negara, waktu minimal yang diharapkan setiap negara tanpa listrik akan turun menjadi 6%. Walaupun beberapa negara akan mengalami pemadaman rata-rata 17%.
Saat ini, hanya negara-negara yang mengandalkan pembangkit listrik tenaga air yang dapat mengklaim memiliki penyimpanan yang memadai. Dan baterai tidak dapat dibuat cukup besar untuk menyediakan penyimpanan seperti itu.
Selain itu, studi ini menemukan bahwa jumlah jam di mana pasokan listrik tidak dapat memenuhi permintaan berkurang secara signifikan jika daya dapat dengan mudah -dan hampir tanpa biaya- ditransmisikan di dalam dan antar negara. Berdasarkan asumsi ini, jumlah jam tanpa listrik turun menjadi rata-rata 49 jam di Eropa, 26 jam di Oseania, dan hanya 13 jam di Amerika Utara.
Penulis penelitian menunjukkan hasil mereka tidak memperhitungkan spesifikasi sistem tenaga yang realistis. Kurang memasukan kendala di lapangan.
Studi ini tidak memasukkan biaya besar untuk membangun infrastruktur transmisi. Seperti saluran listrik untuk memenuhi asumsinya bahwa listrik dapat dengan mudah dibagi di dalam dan antarnegara.
Studi ini juga mengabaikan biaya pembangunan turbin angin dan panel surya, dan biaya lingkungan mereka. Turbin membutuhkan sejumlah besar baja dan beton.
Baja yang dibutuhkan untuk turbin angin akan mewakili 34,0-51,4 persen dari kapasitas tahunan saat ini dari seluruh industri baja global. Dengan kata lain, masa depan yang hanya menggunakan energi terbarukan akan membutuhkan peningkatan kapasitas baja dalam jangka pendek, dan mungkin di masa depan. Ini pembiayaan yang diabaikan dalam analisis penelitian.
Selain itu, membuang material yang digunakan untuk turbin di akhir umur struktur (sekitar 15-20 tahun) tidaklah mudah. Meskipun baja dapat didaur ulang, hal yang sama tidak berlaku untuk pfondasi beton atau bahan yang terdiri dari bilah besar, yang biasanya dipotong dan dikubur.
Juga bukan tugas yang mudah untuk membuang limbah beracun yang ditemukan di nacelle turbin (kotak tempat generator turbin berada). Analisis tidak memasukkan biaya lingkungan ini.
Demikian juga, panel surya mengandung berbagai bahan kimia beracun termasuk cadmium telluride, copper indium selenide, cadmium gallium (di)selenide, copper indium gallium (di)selenide, hexafluoro-ethane, lead dan polyvinyl fluoride. Limbah akhir masa pakai yang dihasilkan beberapa kali lipat lebih berbahaya daripada limbah nuklir, dan biaya ini sekali lagi diabaikan.
Karena itu, sulit sepertinya bagi dunia untuk lepas dari bahan bakar fosil. Jadi siap-siaplah untuk merogoh kocek dalam untuk komoditas energi, lantaran setiap tahun kebutuhannya naik tapi cadangannya menurun.
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"