KONTEKS.CO.ID - Ketua Nurcholish Madjid Society, Muhamad Wahyuni Nafis. menuntut pemerintah agar tidak membiarkan tekanan dari kelompok intoleran menghalangi pelaksanaan Jalsah Salanah Jemaah Ahmadiyah di Manislor, Kuningan, Jawa Barat.
Larangan ini adalah buah dari keputusan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kabupaten Kuningan yang melarang acara Jalsah Salanah. Acara jemaah Ahmadiyah Indonesia ini seharusnya terselenggara pada 6-8 Desember 2024.
Sebelumnya, Pejabat (Pj) Bupati Kuningan, Agus Toyib, melarang kegiatan Jalsah Salanah di Desa Manislor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Jabar. Alasannya, dapat menyebabkan kondusifitas daerah terganggu.
Namun tak ada penjelasan detail mengenai “terganggu” itu seperti apa dan bagaimana. Yang ada hanyalah imbauan untuk tidak melanjutkan pelaksanaan kegiatan saja.
Kegiatan Jalsah Salanah sendiri merupakan kegiatan pertemuan nasional tahunan Jemaah Ahmadiyah. Acara menghadirkan anggota jemaah Ahmadiyah dari berbagai pelosok daerah di Indonesia.
Namun, warga jemaah Ahmadiyah di Manislor memberikan respons berbeda. Mereka mengaku menerima pelarangan dan menegaskan Jalsah Salanah akan tetap berlangsung sesuai rencana dan izin yang telah terperoleh sebelumnya.
Mereka juga memohon perlindungan kepada aparat keamanan dan Forkopimda agar dapat tercipta iklim yang kondusif bagi kelangsungan kegiatan tersebut.
Nurcholish Madjid Society memberikan respons yang sangat jelas dan tegas atas pelarangan ini. "Kami menolak tindakan diskriminatif dan sikap represif yang menekan jemaah Ahmadiyah. Kami menegaskan beberapa poin utama terkait dengan hak asasi manusia, kebebasan beragama. Dan keberagaman sebagai nilai yang harus terjaga dalam negara Indonesia," papar Wahyuni Nafis, mengutip Sabtu 7 Desember 2024.
Poin pertama, terkait hak konstitusional warga negara. Nurcholish Madjid Society menegaskan Jalsah Salanah adalah hak konstitusional warga negara. Ini terjamin oleh UUD 1945.
"Pasal-pasal yang menyangkut kebebasan beragama dan berkumpuL seperti Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 28E ayat (3). Ini memberikan dasar hukum bagi setiap warga negara untuk melaksanakan kegiatan keagamaan mereka, termasuk Jalsah Salanah," sebut Wahyuni Nafis.
Poin kedua, pelarangan sebagai tindakan diskriminatif. Forkopimda Kuningan telah melakukan tindakan diskriminatif dan represif yang tidak sesuai semangat Pancasila. Terutama sila kedua yang mengajarkan “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.
Untuk itu, lanjut dia, pemerintah harus bertindak melindungi hak warganya. Mereka mendesak kepada pemerintah pusat, khususnya Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Kapolri, turun tangan memastikan pelaksanaan Jalsah Salanah sebagai bagian dari hak kebebasan beragama yang terjamin konstitusi.
"Beri Pemerintah Kabupaten Kuningan teguran atas kebijakannya yang inkonstitusional," desaknya.
Larangan Jalsah Salanah Jemaah Ahmadiyah Langgar Konstitusi
Poin keempat, terjadi pelanggaran HAM. Pelarangan ini teranggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia, terutama terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Tindakan seperti ini justru menciptakan preseden buruk dan memicu praktik diskriminatif serupa di tempat lain di Indonesia.
Insiden larangan juga sebagai ancaman terhadap Bhinneka Tunggal Ika. “Bhinneka Tunggal Ika” mengajarkan pentingnya kebinekaan dan tengang rasa antarumat beragama.
Jika pemerintah diam atau membiarkan tindakan diskrinimatif terjadi, hal ini bisa melemahkan jati diri bangsa Indonesia yang berdasarkan keberagaman dan persatuan.
Untuk itu, Nurcholish Madjid Society menuntut agar pemerintah tidak membiarkan tekanan dari kelompok intoleran menghalangi pelaksanaan Jalsah Salanah. "Kami meminta pemerintah untuk bersungguh-sungguh melindungi hak-hak warga negara dalam beribadah dan berkeyakinan," desak Wahyuni.
"Sekaligus memastikan bahwa tindakan yang diambil oleh pemerintah daerah tidak merugikan kelompok minoritas. Ini adalah masalah mendasar terkait dengan keberagaman, hak asasi manusia. Dan kebebasan beragama yang harus dijaga dengan tegas oleh negara," pungkas Muhamad Wahyuni Nafis. ***