daerah

Indikator Politik Manipulatif: Dugaan Angka Palsu hingga Etnis Fiktif

Rabu, 13 November 2024 | 18:58 WIB
Ilustrasi persiapan pelaksanaan Pilkada Malut 2024. Foto: Bawaslu

KONTEKS.CO.ID - Direktur Indonesia Anti Corruption Network (IACN), Igriza Majid, sangat meragukan kevalidan hasil survei Pilgub Malut 2024 yang digelar oleh Indikator Politik Indonesia.

Hal ini terkait dugaan data yang keakuratannya meragukan. Ditambah dugaan munculnya sejumlah suku atau etnis baru yang terdengar asing bagi warga Maluku Utara

Hasil survei Pilgub Malut 2024 menyebutkan paslon Sherly Tjoanda dan Sarbin Sehe berhasil meninggalkan tiga paslon lainnya.

Aktivis antikorupsi asal Malut itu mengatakan, keraguan terhadap hasil survei Indikator Politik Indonesia muncul karena ada ketidaksesuaian antara angka elektabilitas paslon dengan jumlah responden.

Dalam hasil survei itu, sebut Isriza, paslon nomor urut 4 Sherly-Sarbin lebih unggul dengan prosentase 40,7%. Lalu menyusul paslon nomor urut 1 Husain Alting Sjah-Asrul Rasyid Ichsan 20,7%.

"Muhammad Kasuba-Basri Salama (MK Bisa) 15,5 persen dan paslon Aliong Mus-Sahril Thahir (AM-SAH) 10,4 persen. Sedangkan responden yang mengaku tidak tahu/rahasia sebesar 12,8 persen. Jumlah ini jika kita akumulasikan, maka prosentase responden melebihi 100 persen, tepatnya 100,1 persen,” papar Isriza, melansir Rabu 13 November 2024.

Mencermati Angka Responden Hasil Survei Pilgub Malut


Selain itu, kata Igriza, ada juga penemuan ketidaksesuaian jumlah akumulasi responden berdasarkan demografi etnis. Ada kurang lebih dari 3 etnis yang akumulasi responden hanya 99,9 % dan ada juga akumulasi etnis yang melebihi 100,1%.

“Misalnya akumulasi yang terdapat pada etnis Galela, untuk Husain-Asrul 14,2% lalu Aliong-Syahril 10,1%, Kemudian MK-BISA 28,0% dan Sherly-Sarbin 37,9% sedangkan responden yang tidak tahu atau yang belum menentukan pilihan sebanyak 9,7%. Jumlah ini jika terakumulasikan maka total responden kurang dari 100% yakni hanya 99,9%,” sebut Igriza.

“Persentase yang sama juga terjadi pada etnis Sula, Ternate dan etnis lainnya yaitu hanya 99,9% akumulasi respondennya. Sementara pada etnis Buton, Butung dan Butong akumulasinya melebihi yakni 100,1%,” bebernya.

Berdasarkan sisi sosio demografi, ia menuding Indikator Indonesia melalukan kebohongan.

“Yang benar saja Indikator. Base Etnis Makeang, etnis Tidore, dan Sula sengaja mereka perkecil. Setelah itu mereka juga membuat kelompok etnis baru yaitu etnis Halmahera, Butung dan Butong. Ini etnis dari mana ke mana? Nama etnis ini belum pernah kami dengar di Maluku Utara sini," tukasnya.

"Kalaupun maksudnya adalah etnis Bitung masih bisa termaklumi mungkin salah ketik tapi etnis Halmahera dan Butong ini etnis yang mana? Karena dalam uraian etnis sudah ada etnis Buton dan etnis lainnya. Ini artinya Indikator terkesan asal-asalan saja mencaplok nama etnis yang bahkan kami orang Maluku Utara pun tidak pernah dengar,” tuding Igriza.

“Kemudian anehnya persentase pada etnis Togale Sherly tersebut lebih unggul dari Muhammad Kasuba (MK) yakni di Galela 37 persen dan di Tobelo 74 persen. Padahal secara representatif MK lebih suku Togale kenal. Karena MK adalah satu-satunya putra asli Togale yang mengikuti kontestasi Pilgub, sementara Sherly secara etnis tidak memiliki hubungan apapun dengan etnis Togale. Ini kan aneh,” tandasnya.

Kesesuaian Nama Peserta Pilkada Malut 2024


Igriza juga menyoal tentang citra personal yang dibuat bukan Sherly Tjoanda tapi Sherly Laos. Alumii sekolah antikorupsi KPK mini mempertanyakan, apakah perubahan nama belakang Sherly sudah sesuai ketentuan yang harusnya tersahkan oleh negara melalui penetapan pengadilan atau belum.

“Secara administratif ini bisa terlihat dari seluruh berkasnya yang masuk di KPU. Apakah officially sudah ada perubahan nama? Kalau belum, maka kuasa hukum paslon lain bisa mempersoalkan ini dari sisi hukum,” tambahnya.

“Dari semua paslon yang terdaftar tidak ada namanya Sherly Laos tetapi Sherly Tjoanda. Hanya tergantung kuasa hukumnya apakah punya sensibilty melihat ini? Begitu pun terhadap lembaga survei yang melakukan pembohongan publik harus terbawa ke ranah hukum," tegasnya.

"Bukan cuman excess of sum tetapi juga nama Sherly Laos yang terdapat dalam survei Indikator apakah sesuai dengan nama dalam pemberkasan di KPUD atau tidak? Ini juga penting untuk dipersoalkan,” pungkasnya. ***

Tags

Terkini