KONTEKS.CO.ID – Para pakar independen dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali menyuarakan keprihatinan atas praktik penggusuran paksa dalam proyek pariwisata Mandalika, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Mereka memperingatkan kebijakan tersebut tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga telah menghancurkan kehidupan ekonomi ribuan warga, terutama masyarakat adat Sasak.
Para pakar yang merilis pernyataan pada akhir pekan ini adalah Balakrishnan Rajagopal, Paula Gaviria Betancur, Pichamon Yeophantong, Damilola Olawuyi, Fernanda Hopenhaym, Lyra Jakuleviciene, Robert McCorquodale, dan Olivier De Schutter.
Baca Juga: Mandalika Drag Fest 2025: Ratusan Pembalap Panaskan Sirkuit, Adu Cepat Jadi Sorotan Nasional
Mereka menjelaskan penggusuran yang berlangsung 15–17 Juli 2025, berdampak terhadap setidaknya 186 usaha kecil milik keluarga di kawasan Tanjung Aan dan sekitarnya digusur paksa.
Usaha tersebut banyak dikelola oleh perempuan dan menjadi sumber nafkah utama bagi keluarga.
Akibatnya, lebih dari 2.000 orang kehilangan mata pencaharian secara mendadak.
Baca Juga: ITDC dan Basarnas Perkuat Keselamatan di KEK Mandalika, Kerja Sama Infrastruktur dan Operasi SAR
“Komunitas ini sekarang hidup dalam ketakutan. Penggusuran semakin memperparah kemiskinan, meminggirkan masyarakat adat, dan mendorong mereka ke jurang keterpurukan,” tulis para pakar PBB dalam pernyataan resminya.
Mereka menambahkan, proses penggusuran dilakukan tanpa pemberitahuan yang layak, tanpa alternatif hunian yang memadai, serta tanpa konsultasi dengan masyarakat terdampak.
Padahal, hukum internasional mewajibkan adanya persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (free, prior and informed consent) dari masyarakat adat.
Sebagian warga yang tergusur bahkan mengaku pernah mengalami hal serupa pada periode 2019–2021, sehingga kini menjadi korban untuk kedua kalinya.
“Ini membuat mereka semakin rentan karena telah kehilangan rumah dan tanah berulang kali,” ujar para pakar.***