KONTEKS.CO.ID – Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat, mengangkat isu yang sangat penting terkait kasus kawin tangkap dan kekerasan budaya terhadap perempuan.
Ia mengungkapkan bahwa meskipun kasus kawin tangkap seringkali terkait dengan klaim tradisi budaya, hal ini sebenarnya menjadi hambatan signifikan bagi perempuan korban untuk melaporkan kasus pemaksaan dan penangkapan dengan dalih perkawinan.
Rainy menegaskan bahwa pelaku seringkali mendapat dukungan dari tetua keluarga besar dan tetua adat atau komunitas.
Ini terkait dengan kasus kawin tangkap yang baru-baru ini viral di media sosial, terjadi di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Terlebih lagi, jika perempuan korban dan keluarganya berasal dari lapisan ekonomi yang rendah dan memiliki tingkat pendidikan yang minim. Inilah sebabnya mengapa kasus pemaksaan perkawinan dan kekerasan terhadap perempuan lainnya yang dianggap sebagai tradisi budaya sangat jarang dilaporkan ke Komnas Perempuan,” kata Rainy.
1. Jenis-Jenis Pemaksaan Perkawinan dalam Budaya
Rainy menjelaskan bahwa dari hasil kajian Komnas Perempuan yang berjudul “Kekerasan terhadap Perempuan dalam Budaya,” terdapat beberapa jenis tradisi pemaksaan perkawinan dalam budaya. Beberapa tradisi tersebut antara lain:
- Kawin Sambung: Terjadi ketika seseorang menikahi pasangan yang sebelumnya sudah menikah dan memiliki anak.
- Kawin Lari: Pemuda dan pemudi melarikan diri dan menikah tanpa persetujuan keluarga.
- Kawin Cinta Buta: Terjadi ketika seseorang menikahi pasangan tanpa mempertimbangkan faktor lain selain cinta.
- Kawin Grebeg atau Kawin Tangkap: Terjadi ketika seseorang, terutama dengan menculik dan menangkap perempuan dan dipaksa untuk menikah.
- Kawin Paksa karena Hamil dan Hubungan Seksual: Terjadi ketika pernikahan paksa karena kehamilan atau hubungan seksual di luar nikah.
- Perkawinan Dini: Merupakan bentuk pemaksaan perkawinan yang berdasarkan budaya, di mana seseorang dinikahkan pada usia yang sangat muda.
2. Penyelesaian Kekerasan Seksual secara Adat
Di sisi lain, kekerasan seksual terhadap perempuan, baik yang berakibat kehamilan maupun tidak, seringkali selesai secara adat.
Meskipun hal ini mungkin terlihat sebagai upaya untuk mendamaikan keluarga korban dengan keluarga pelaku, kenyataannya korban seringkali tidak terlibat dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual yang mereka alami.
Korban juga tidak mendapatkan restitusi atau hak atas pemulihan fisik maupun psikis. Ini merupakan masalah serius yang perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut.
3. Tindakan Terkait Kasus Kawin Tangkap
Baru-baru ini, kasus kawin tangkap viral di media sosial. Rekaman video memperlihatkan sejumlah lelaki menarik seorang perempuan dengan paksa dan memasukkannya ke dalam mobil.
Kejadian ini terjadi pada Kamis, 7 September 2023. Perempuan tersebut ternyata adalah mempelai dalam kawin paksa.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) merespons kasus ini dengan mengungkapkan bahwa seluruh pelaku, orang tua salah satu pelaku, dan korban langsung diamankan pada hari kejadian.
Hal itu untuk pemeriksaan lebih lanjut terkait video yang menunjukkan dugaan kasus kawin tangkap yang viral di media sosial.
Isu-isu seperti kasus kawin tangkap dan kekerasan budaya terhadap perempuan adalah permasalahan yang harus mendapat perhatian serius dari masyarakat dan pemerintah.
Langkah-langkah penegakan hukum yang tegas dan upaya penyuluhan untuk mengubah norma budaya yang merugikan perempuan sangat penting untuk melindungi hak dan keamanan perempuan di Indonesia.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"