KONTEKS.CO.ID – Pembelian BBM subsidi dibatasi. Ya, masyarakat harus siap-siap merasakan pembatasan pembelian bahan bakar minyak bersubsidi dalam waktu dekat.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, mengirimkan sinyal pembelian BBM subsidi dibatasi.
Pembatasan ini terkait dengan prediksi melebarnya angka defisit APBN 2024. Seperti Konteks beritakan, sepanjang semester 1 tahun ini, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun ini sudah tekor Rp77,3 triliun.
Dengan demikian, APBN dalam 6 bulan terakhir sudah mengalami defisit 0,34% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pun memproyeksikan defisit sampai akhir tahun ini di kisaran 2,70% terhadap PDB. Atau menjauh dari patokan APBN 2024 sebesar 2,29%.
Respons Defisit APBN 2024, Pembelian BBM Subsidi Akan Dibatasi.
“Defisit APBN tahun 2024 terproyeksi akan lebih besar dari target yang telah tertetapkan, menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam menjaga stabilitas keuangan dan keseimbangan anggaran negara,” tulis Luhut di akun Instagram pribadinya, @luhut_panjdjaitan, terlihat Selasa 9 Juli 2024.
Untuk itu, pihaknya berharapnya pada 17 Agustus 2024 nanti masyarakat yang tak berhak mendapatkan BBM subsidi jumlahnya bisa berkurang.
“Kita tidak boleh bergantung pada harga komoditas. Saya berharap orang yang tak berhak mendapat subsidi (BBM) bisa kita kurangi,” ungkapnya.
Menurut Luhut, melebarnya defisit terjadi seiring pendapatan negara yang terproyeksi tidak akan mencapai target. Penurunan penerimaan terutama karena merosotnya setoran PPh badan dari perusahaan-perusahaan berbasis komoditas.
“Mereka terkena dampak penurunan harga komoditas secara tajam,” katanya lagi.
Ia menambahkan, sejatinya pemerintah sudah mengantisipasi hal ini dengan melakukan penerapan digitalisasi di semua sektor. “Contohnya Simbara. Sistem terintegrasi ini dapat menekan selisih angka terkait data mineral di antaranya batubara, nikel, dan lain-lain,” imbuhnya.
Dengan semakin kecilnya selisih perbedaan tersebut, maka akan menekan pula potensi kerugian negara. “Sekarang kami juga menerapkan sistem semacam Simbara ini untuk kelapa sawit, mengingat banyak penerimaan negara yang potensial belum kita ambil dari sini,” ujar Luhut.
Dari data yang ia terima, ada banyak perusahaan kelapa sawit yang belum memiliki NPWP. Hal ini menyebabkan pemerintah tidak bisa menagih PPh badan. Jika sistem ini sudah bisa di implementasikan, maka penerimaan pajak bisa meningkat.
Pemerintah juga mendorong penggunaan BBM alternatif pengganti bensin dengan bioetanol. Selain mampu mengurangi kadar polusi udara, tingkat sulfur yang terkandung bahan bakar alternatif ini juga tergolong rendah.
“Jika kita mampu melakukan ini, jumlah penderita ISPA bisa kita tekan dan pembayaran BPJS untuk penyakit tersebut bisa kita hemat sampai Rp38 triliun,” klaim Luhut.
Terkait penuruan pendapatan negara, ia menilai, itu lantaran adanya inefisiensi di berbagai sektor.
“Jika semua sektor pemerintahan sudah menerapkan digitalisasi, maka efisiensi bisa tercipta, celah untuk berkorupsi bisa berkurang, dan yang paling penting penerimaan negara bisa kembali meningkat,” pungkasnya. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"