KONTEKS.CO.ID – Situasi politik dan ekonomi Indonesia jelang tahun politik dan ancaman resesi ekonomi disikapi dengan kekritisan oleh para pakar dan elit politik. Kekisruhan soal sosok yang digadang sebagai pengganti Presiden Jokowi dianggap tak terlalu relevan untuk menjadi pembahasan.
Bagaimana Indonesia bersikap dan bertahan untuk mulai menggeser prioritas dari berbicara soal sosok calon presiden menjadi perbincangan yang lebih besar tentang apa yang perlu menjadi prioritas untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik.
Pengamat politik Ahmad Khairul Umam mengevaluasi kepemimpinan Jokowi. Menurutnya, memang ada capaian yang besar dalam pembangunan infrastruktur, tapi dalam konteks demokrasi ada penurunan kualitas demokrasi yang signifikan. Hal tersebut disampaikan berdasarkan hasil riset dari dalam dan luar negeri.
“Pemerintah juga punya peran dalam proses penurunan demokrasi. Presiden Jokowi memang muncul dari dukungan civil society yang genuine, tapi ada hal-hal yang perlu menjadi basis evaluasi dari kepemimpinan Jokowi selama delapan tahun terakhir,” ujar Khairul Umam dalam acara Dialog Akhir Tahun bertajuk “Indonesia di Tengah Tahun Politik dan Ancaman Krisis Ekonomi” yang digelar Unpacking Indonesia, Jumat malam, 16 Desember 2022.
Pengamat politik Adi Prayitno juga menyampaikan data yang mirip. Menurutnya, sepanjang tahun 2021 indeks demokrasi di Indonesia mengalami penurunan. Ini terjadi karena publik takut bersuara. Banyak orang khawatir mengeritik pemerintah karena takut ditangkap.
Ancaman penyebaran hoax, ujaran kebencian dan ancaman UU ITE punya andil dalam hal tersebut. Namun dalam urusan Pemilu, Adi memberi respons positif dengan menyebut Pemilu dengan 17 partai yang akan jadi peserta adalah sebuah keberlimpahan demokrasi. Pemilu, akan membuat ekonomi rakyat berdenyut dan mendatangkan berkah ekonomi yang luar bisa buat publik.
Sementara di mata Fahri Hamzah, Wakil Ketua Umum Partai Gelora, demokrasi tidak boleh dipandang partisan. Fahri menawarkan untuk memikirkan ulang model politik di Indonesia. Amandemen UU layak untuk dipertimbangkan kembali.
“Kita memerlukan sekali lagi amandemen, khususnya untuk menentukan pemilihan. Apakah presidensial murni dengan memilih presiden langsung, ataukah semi seperti di Perancis sehingga ada lembaga Perdana Menteri, atau mandataris,” ujar Fahri dalam dialog tersebut.
Menurut Fahri, hal paling berbahaya dalam pemilihan langsung adalah terjadinya penguasaan elit. Itu sebabnya membahas hal tersebut penting dilakukan sebelum memasuki masa transisi demokrasi agar lebih matang dan final.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"