KONTEKS.CO.ID – Buku ‘Memori Perempuan Berjuang Melawan Tiran’ diluncurkan bertepatan pada Hari Perempuan Internasional pada Jumat, 8 Maret 2024. Buku ini membagikan kisah perlawanan 43 perempuan terhadap penguasa yang menindas.
Bila kilas balik pada semangat reformasi 1998, buku Memori Perempuan Berjuang Melawan Tiran ini menjadi relevan untuk situasi saat ini. Inisiator buku ini adalah Mantan Ketua KNPD, Nurini Hilir, dan Hunsi Munir sebagai fotografer.
Buku ini mengisahkan gerakan perempuan yang ditulis para pelaku sejarahnya sendiri dan memberi perspektif baru terhadap penulisan sejarah yang lebih sering ditulis dengan sudut pandang laki-laki dan membuat nama-nama perempuan terabaikan.
Sudut pandang perempuan sebagai konter terhadap wacana patriarki sangat penting diketahui dan dibaca banyak orang, agar tidak memandang perempuan sebagai pelengkap belaka, setara objek atau benda, penggoda, kriminal, dan sumber kekacauan.
Buku ini mengonfrontasi pandangan misoginis dengan menunjukkan bahwa para perempuan yang bercerita adalah sosok-sosok yang aktif berorganisasi dan berkontribusi terhadap perubahan politik dan masa depan negerinya.
Menarasikan pengalaman perempuan adalah juga memberi ruang pengungkapan kebenaran yang adil dan menjadi penting dalam proses penyembuhan luka maupun trauma masa silam.
Kisah 43 perempuan ini mencakup dua perjalanan penting, yaitu perjalanan politik dalam pergerakan dan perjalanan hidup yang tak jarang melibatkan beragam emosi. Namun, pada sebagian kawan, perjalanan hidup merupakan perjalanan politik mereka.
Buku ini adalah kumpulan berbagai profil perempuan yang pada zamannya telah melakukan pengorganisiran di sektor buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota, mahasiswa, seniman, dan lain-lain, yang pada akhirnya mampu mengubah sejarah Indonesia menjadi negara yang demokratis seperti saat ini.
Buku ini juga sebuah ikhtiar kontribusi sejarah Indonesia. Upaya membangun gerakan demokrasi pada Reformasi 1998. Hal ini bukanlah perjuangan mudah dan terbentuk dalam waktu singkat.
Ada kontribusi dari para perempuan yang luput dari penulisan sejarah. Para perempuan inilah yang menyerahkan masa mudanya melawan represi Orde Baru.
Buku ini juga bercerita tentang gemuruh perjalanan aktivis perempuan dalam proses penumbangan rezim Suharto. Mereka memperjuangkan lahirnya Reformasi 1998. Kisah mereka layak menjadi catatan sejarah Indonesia.
Dinamika, relevansi dan latar lahirnya penerbitan buku ini dikupas dalam talkshow yang bertujuan untuk memberikan inspirasi dan penguatan kepada perempuan muda dan masyarakat luas.
Agar termotivasi dan terdorong untuk berkontribusi dalam membangun dan menjaga demokrasi. Kemudian menyebarkan nilai-nilai demokrasi, partisipasi aktif, dan penolakan terhadap represi melalui kisah-kisah perjuangan kaum perempuan.
Sementara pesan inti buku ini menunjukan peran signifikan perempuan dalam penumbangan rezim Suharto dan perjuangan menuju Reformasi 1998, disampaikan dengan jelas, sebagai pengukuhan peran perepuan dalam sejarah.
Juga memberikan penghargaan dan pengakuan serta menghargai kontribusi perempuan dalam menciptakan Indonesia yang demokratis.
Talkshow ini juga diharapkan dapat menyebarkan wacana dan menjadi katalisator untuk lebih menghargai dan mengakui peran perempuan dalam perjalanan perjuangan panjang menuju Indonesia yang demokratis.
Menghadirkan empat narasumber, Dr Ruth Indiyah Rahayu, aktivis perempuan dan Dewan Pengurus Kalyanamitra,
Lilik Hastuti yang merupakan mantan aktivis PRD yang sekarang bekerja di Media, Nurini Hilir yang juga Mantan Ketua KNPD, dan Husni Munir.
“Ini perjalanan politik, juga perjalanan personal,” ujar lilik HS.
Sementara aktivis PRD Lisa Sastrajendra menyampaikan bahwa buku ini bercerita tentang orang-orang, tapi bukan hadir sebagai biografi. Buku ini menceritakan sejarah yang jarang ditemui di buku sejarah, dari perspektif pelaku.
“Karena itu tidak hanya tentang satu atau dua orang atau ada 43 pengalaman perempuan yang sedang bercerita,” katanya.
“Harapannya bisa tersampaikan kepada generasi sekarang yang punya hak mengetahui sejarah negeri ini yang di dalamnya ada peran perempuan-perempuan,” kata Lisa lagi.
Sementara Ruth Rahayu menyampaikan, kisah perempuan yang ada dalam buku ini jelas berbeda dengan cara berkisah laki-laki. Apa yang tersaji sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
“Cara menulis perempuan dan laki-laki berbeda, apa yg diamati sesuatu yang tidak pernah dibayangkan. Inilah perempuan menuliskan tentang dirinya sendiri, tanpa polesan opini, bercerita secara jujur tentabg dirinya,” ujar Ruth.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"