KONTEKS.CO.ID – The Economist menyebut Presiden Joko Widodo mengakhiri masa jabatan satu dekadenya dengan cara yang memalukan.
Jokowi disebut telah menjadi kingmaker untuk seorang jenderal yang kontroversial, Prabowo Subianto.
Sebelum menjadi pemimpin Indonesia, Jokowi merupakan pengusaha furnitur.
Terjun ke dunia politik, Jokowi berjanji akan menentang para elite yang telah mengatur negara demokrasi ini.
Sayangnya, alih-alih mengalahkan kekuasaan, broker, Jokowi justru telah bergabung dengan mereka.
Jokowi menjadi pendukung nyata untuk calon presiden nomor urut 02, Prabowo yang merupakan mantan jenderal dan menantu Soeharto.
Prabowo terkenal memiliki catatan hak asasi manusia yang buruk dan menyatakan ambivalensi terhadap demokrasi.
Pemilu Indonesia 2024 juga ‘makin meriah’ dengan bergabungnya putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka mendampingi Prabowo sebagai cawapres.
Meski belum cukup umur untuk mencalonkan diri pada awalnya, nyatanya Gibran mulus melalui halangan dengan bantuan pamannya, Anwar Usman.
Dengan memanfaatkan posisinya sebagai Ketua MK saat itu, Anwar Usman mencabut batasan usia yang menghalangi keponakannya untuk ‘nyawapres’.
The Economist juga menyebut, saingan utamanya, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo yang sama-sama mantan gubernur mengklaim upaya perlawanan mereka telah diganggu atau dibatalkan oleh pejabat bayangan.
“Hal ini merupakan pertanda yang mengkhawatirkan bagi Indonesia, dan merupakan akhir yang tidak layak bagi masa jabatan Jokowi,” tulisnya.
Prabowo Teruskan Kebijakan Jokowi
Dalam pilpres ini, Prabowo juga berjanji akan meneruskan kebijakan-kebijakan yang telah Jokowo lakukan demi menyakinkan investor.
Salah satunya dukungan Prabowo terhadap pembangunan ibu kota baru IKN senilai USD34 miliar di hutan hujan Kalimantan.
Prabowo juga tampaknya ingin memperluas kebijakan proteksionis nikel yang hanya akan membuahkan hasil jika permintaan logam tersebut tetap tinggi, ke sektor-sektor yang kurang menjanjikan.
“Dukungan Jokowi terhadap dirinya dilaporkan telah mengasingkan rekan-rekan teknokratis presiden, termasuk Sri Mulyani Indrawati, menteri keuangan yang berada di balik sebagian besar kemajuan tersebut,” tulis The Economist.
Media tersebut juga mengatakan, kemenangan Prabowo tidak berarti akhir dari politik liberal di Indonesia.
Meskipun demikian, kronisme yang terlihat jelas dalam kampanyenya sangat mengecewakan.
“Kedatangan Jokowi pada 2014 merupakan sebuah angin segar. Namun kegagalannya memperkuat demokrasi di Indonesia, bahkan ketika perekonomian sudah makin kuat, hal ini meninggalkan dampak buruk,” pungkasnya.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"