KONTEKS.CO.ID – Ombudsman RI mendesak pemerintah segera menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk mencegah peningkatan gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) atau peristiwa gagal ginjal akut pada anak.Â
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng mengatakan, pemerintah perlu tegas karena lonjakan kasus gagal ginjal akut pada Anak. Penetapan KLB diharapkan mampu mengatasi hal ini.
“Memang dalam UU Wabah Penyakit Menular dan Permenkes ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi sebagai KLB, namun pemerintah juga harus membaca UU ini tidak hanya tekstual saja namun juga filosofi kebijakan dan kondisi di masyarakat,” ujar Robert dalam Konferensi Pers secara daring di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Selasa, 25 Oktober 2022.
Ditambahkan Robert, kasus gagal ginjal akut pada anak merupakan darurat kesehatan. Karena itu, penanganannya harus terpadu, dan perlu segera ditetapkan menjadi status KLB.
Dengan penetapan KLB, penanganan masalah ini bakal lebih terkoordinasi dengan baik. Selain itu, perlu segera dibentuk tim satuan tugas khusus untuk penanganan kasus gagal ginjal akut pada anak ini.
Menurut Robert, dengan status KLB, maka dapat terpenuhi Standar Pelayanan Publik (SPP) termasuk pelayanan pemeriksaan laboratorium hingga Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
“Selain itu diharapkan dapat terwujud koordinasi dan sinergi dengan Pemerintah Daerah dan BPJS Kesehatan terkait pembiayaan pasien,” katanya.
Ombudsman berharap sosialisasi dalam rangka pencegahan kasus gagal ginjal akut pada anak dapat dilakukan hingga tingkat desa. Masyarakat saat ini memiliki hak akan informasi terkait penanganan kasus ini, hingga pencegahannya.
Ombudsman menuding pemerintah yang belum memberikan penjelasan yang menyeluruh mengenai penyebab gagal ginjal akut pada anak. Pada penanganan kasus ini, Ombudsman menemukan potensi maladministrasi yang dilakukan Kemenkes. Seperti belum adanya data pokok terkait sebaran kasus baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan pusat.
“Sehingga menyebabkan terjadinya kelalaian dalam pencegahan atau mitigasi kasus ini,” ujar Robert.
Ombudsman juga menemukan ketiadaan standarisasi pencegahan dan penanganan kasus ini oleh seluruh pusat pelayanan kesehatan baik di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL).
Tak hanya Kemenkes, Ombudsman juga menyoroti adanya kelalaian dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam pengawasan premarket (proses sebelum obat didistribusikan dan diedarkan) dan postmarket control (pengawasan setelah produk beredar).
Pada tahap premarket, Ombudsman menilai bahwa BPOM tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi (uji mandiri). Robert menekankan bahwa peran pengawasan BPOM harus lebih aktif dengan melakukan uji petik terhadap sejumlah produk farmasi.
Ombudsman menilai bahwa terdapat kesenjangan antara standarisasi yang diatur oleh BPOM dengan implementasi di lapangan. Selain itu, Robert menegaskan BPOM wajib memaksimalkan tahapan verifikasi dan validasi sebelum penerbitan izin edar.
Pada tahap postmarket control, Ombudsman menilai bahwa dalam tahapan ini perlu adanya pengawasan BPOM pasca pemberian izin edar. “BPOM perlu melakukan evaluasi secara berkala terhadap produk yang beredar. Hal ini bertujuan untuk memastikan konsistensi mutu kandungan produk yang beredar,” tegas Robert.
Ombudsman berkomitmen untuk melaksanakan pengawasan dengan melakukan sidak di beberapa tempat seperti fasilitas kesehatan maupun perusahaan produsen farmasi serta pemanggilan para pihak terkait untuk memberikan penjelasan atau klarifikasi.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"