KONTEKS.CO.ID – Para akademi mengkhawatirkan munculnya bara api dalam gelaran Pemilu 2024. Ini terkait kejadian-kejadian politik yang belakangan ini terjadi.
Karena itu, mereka berharap bangsa ini tidak “terbakar” oleh bara api tersebut. Itulah harapan yang muncul dalam diskusi akhir pekan Titik Temu Rumah Kebudayaan Nusantara (RKN) berjudul “Politik Panas di Musim Hujan”.
Diskusi yang berlangsung di Kampus Universitas Sriwijaya, Palembang, pekan ini, menghadirkan pembicara Prof Alfitri, Dekan Fisip Universitas Sriwijaya; Dr Tarech Rasyid, Rektor Universitas IBA Palembang, dan Ray Rangkuti, pengamat politik. Diskusi dipandu oleh Sebastian Salang.
Tarech menggambarkan, situasi politik Indonesia saat ini seperti bara api. Karena itu, ia meramalkan ada dua kemungkinan yang bisa terjadi.
Pertama, sebut dia, gelombang besar protes sebelum hasil pemilu. Kemungkinan kedua, protes besar sesudah pemilu.
Apalagi Tarech melihat penyelenggara pemilu juga mulai “masuk angin”. Hal ini terlihat dari data pemilih yang bocor, tertemukannya satu kartu keluarga berisi 2.000 nama hingga banyak orang yang sudah meninggal dunia tapi muncul lagi di daftar pemilih tetap (DPT).
Belum lagi, Tarech melihat tarik ulur tentang debat capres-cawapres yang mengarah pada upaya melemahkan kekuatan KPU. Ini yang menciptakan potensi bara api Pemilu 2024.
Bara Api Pemilu 2024 Terpicu Putusan MK
Sementara itu, Ray Rangkuti menyatakan, bara api itu muncul akibat putusan MK yang membuat kericuhan. Putusan MK meloloskan Gibran menjadi cawapres membuat perdebatan panjang, karena telah menumbuhkan dinasti politik.
“Putusan MK hanya untuk Gibran. Suasana panas juga timbul akibat dugaan adanya penggunaan fasilitas negara hingga muncul persepsi tidak netralnya aparat TNI, Polri dan ASN. Lalu, panasnya hubungan Jokowi dengan PDIP juga timbulkan kepanasan politik,” paparnya.
“Hal berikutnya yang bisa memicu suasana panas adalah munculnya gerakan gerakan sistematis untuk mendelegitimasi Presiden Jokowi. Masalah dinasti, netralitas aparat dan delegitimasi akan terus bergulir terus ke depan,” kata Ray khawatir.
Sedangkan Prof Alfitri melihat ada semacam mobilisasi secara masif, seperti masa jelang reformasi. Namun ia melihat perbedaan signifikan di antara dua peristiwa tersebut.
Di mana di era sekarang ini, cetus dia, ada kenyamanan yang menyebabkan munculnya anomali di lingkungan kampus hingga kalangan intelektual.
Untuk mencegah bara itu membesar, Prof Alfitri mengusulkan pengalangan kesadaran kolektif untuk memperbaiki kondisi ini. Selain harus mengingatkan para penguasa untuk menahan libido kekuasaan yang mengebu-gebu.
“Agar pemilu lebih demokratis dan menyelamatkan Gen Z dan milenial dari bencana demokrasi ke depan,” harapnya .***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"