KONTEKS.CO.ID – Selain terkenal sebagai penulis buku “Naar de Republiek” — buku pertama tulisan pribumi yang menggambarkan gagasan Hindia Belanda merdeka menjadi Inodonesia, Tan Malaka juga seorang ahli penyamaran.
Pria berjuluk Bapak Republik ini seakan punya seribu wajah untuk mengelabui agen rahasia berbagai negara yang memburunya.
Penyuka film Hollywood mungkin masih ingat The Saint, film trailer tentang agen spionase yang tayang pada 1997. Film ini merupakan adaptasi dari novel karya Leslie Charteris yang terbit pada 1928.
The Saint menceritakan tentang kisah Simon Templar, pencuri profesional dan ahli penyamaran yang mencuri harta dari para politisi korup, gembong narkoba, dan penjahat kelas atas lainnya. Di film ini aktor Val Kilmer memerankan tokoh Simon Templar secara ciamik.
Ternyata di era yang hampir bersamaan dengan munculnya novel The Saint, di Indonesia juga muncul novel “Patjar Merah Indonesia” yang juga bercerita tentang kisah penyamaran Tan Malaka.
Novel Patjar Merah Indonesia
Sebuah novel petualangan berjudul “Spionage Dients (Patjar Merah Indonesia)” terbit di Medan pada Maret 1938. Novel terbitkan Centrale Courant & Boekhandel ini berkisah tentang seorang tokoh misterius berjudul Pacar Merah.
Penulis novel mencitrakan tokoh utama sebagai seseorang yang sangat misterius dan sangat ahli menyamar. Pacar Merah juga menguasai ilmu intelijen dan kontra intelijen, mampu membaca masa depan, dan mempunyai kesaktian misterius.
Dalam novel itu, Pacar Merah melegenda karena menjadi buruan dinas rahasia seluruh dunia. Ia berpindah-pindah dari suatu negeri ke negeri lain seperti Belanda, Filipina, Kamboja, Hong Kong, hingga China. Bahkan dalam satu kisah, Pacar Merah harus menyamar sebagai perempuan tua dengan tiga anak.
Meski novel ini adalah cerita fiksi karya Matu Mona, tetapi sosok tokoh Pacar Merah sendiri bukanlah tokoh fiksi. Dia adalah Tan Malaka.
Matu Mona menulis novel ini karena terinspirasi dari surat-surat Tan Malaka kepada Adinegoro, Pemimpin Redaksi koran Pewarta Deli. Surat-surat Tan Malaka kepada adinegoro menceritakan tentang pengembaraannya serta gagasan-gagasan tentang kemerdekaan Indonesia.
Adinegoro memperlihatkan surat-surat tersebut kepada Matu Mona yang ketika itu bekerja sebagai redaktur Pewarta Deli. Sebagai seorang wartawan nasionalis, Matu Mona tergerak menuliskan kisah pengembaraan Tan Malaka. Agar tidak mengundang kecurigaan intel Belanda, ia mengemas tulisannya dalam bentuk novel.
Tan Malaka Jago Menyamar
Di pertengahan 1938 saat Matu Mona berkunjung ke Singapura, seorang tukang jahit asal Sumatera Barat mengundangnya singgah ke tokonya. Secara tiba-tiba di depannya muncul seseorang berpenampilan seperti orang China.
Ternyata orang itu adalah Ibrahim Gelas Datuk Sutan Malaka, tokoh utama dalam novel karyanya. Bapak Republik Indonesia itu ternyata ingin berkenalan dengan pengarang “Patjar Merah Indonesia”.
Namun Tan Malaka menolak ketika Matu Mona meminta wawancara. Ia tak ingin orang lain mengetahui tempat tinggalnya.
Pertemuan itu hanya berlangsung selama lima menit, namun kembali menginspirasi Matu Mona untuk melanjutkan kisah petualangan Pacar Merah dalam novel berikutnya “Rol Patjar Merah Indonesia cs”.
Selama 22 tahun bersembunyi dari kejaran Interpol dunia, Tan Malaka hanya dua kali pulang kampung ke Sumatera Barat.
Kepulangan pertama terjadi sekitar tahun 1942. Ia yang kala itu menjadi buronan Jepang melakukan penyamaran hingga berhasil sampai ke Payakumbuh. Tan menyempatkan diri untuk menjenguk ibunya yang sudah renta.
Kisah dalam novel Pacar Merah nampaknya memang berpengaruh pada masa itu. Tan Malaka seperti legenda hidup di Sumatera Barat. Orang-orang yang hidup di zaman itu menganggap Tan Malaka adalah orang sakti. Ia bisa menghilang dan kebal peluru sehingga Belanda sulit menangkapnya.
Hal-hal mistis semacam ini beredar luas di masyarakat Minang pada waktu itu. Padahal Tan Malaka sendiri sangat antipati pada hal-hal berbau mistik dan klinik.
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"