KONTEKS.CO.ID – Mei 2023, fenomena babi ngepet bikin gempar warga desa Welahan, Jepara, Jawa Tengah.
Berawal dari kejadian sejumlah warga kehilangan uang tunai dan perhiasan, warga mencurigai ada babi ngepet yang beraksi di desanya. Namun penyelidikan warga membuktikan bahwa itu kasus pencurian oleh manusia, bukan babi ngepet.
Sebelumnya pada tahun 2021, fenomena babi ngepet juga bikin geger warga Kelurahan Bedahan, Kota Depok. Warga berhasil menangkap babi hutan yang dicurigai sebagai babi ngepet. Namun belakangan cerita babi ngepet itu hanya akan-akalan seorang oknum untuk mencari keuntungan.
Fenomena babi ngepet selalu bikin geger dan gempar. Masyarakat selalu penasaran dengan fenomena ini. Apalagi beritanya kemudian viral lewat media sosial.
Keberadaan babi ngepet selalu dikaitkan dengan pencurian uang. Masyarakat juga percaya babi ngepet adalah jelmaan dari seseorang yang mencari kekayaan dengan cara mencuri.
Fenomena babi ngepet merupakan salah satu mitos pesugihan populer di Indonesia.
Mitologi Ilmu Hitam
Dalam buku “Dunia Hantu Orang Jawa”, penulis Suwardi Endraswara menyebut bahwa babi ngepet adalah makhluk mitologi yang identik dengan ilmu hitam.
Masyarakat, tulis Guru Besar Antropologi Sastra Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini, meyakini babi ngepet jelmaan dari seseorang yang menggunakan ilmu hitam. Orang itu mencari kekayaan dengan cara mengubah diri menjadi siluman babi. Tujuannya agar dapat dengan mudah melakukan pencurian uang.
Para penggemar mitos ini meyakini bahwa lokasi meminta pesugihan babi ngepet terletak Gunung Kawi, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Konon agar bisa menjadi babi ngepet, seseorang harus bertemu dengan siluman babi dan melakukan perjanjian sebelum akhirnya bisa mengubah wujudnya.
Sama seperti cerita tuyul sebagai pesugihan, masyarakat Nusantara sudah mengenal cerita tentang siluman babi ngepet sejak akhir abad ke-17.
Babi ngepet lahir akibat kemiskinan dan kesengsaraan masyarakat karena tekanan kuat kolonialisme penjajah yang mencengkram sendi kehidupan mereka.
Kepercayaan terhadap mistik dan klenik yang masih kuat, berkelindan dengan keadaan sosial ekonomi yang begitu sulit kala itu, membuat hal-hal berbau pesugihan mendapat tempat di pikiran banyak orang.
Clifford Geertz, sejarawan dan ahli antropologi AS mencatat keberadaan mitos babi ngepet muncul saat ia melakuklan penelitian pada dekade 1952 di Kediri, Jawa Timur. Penelitian itu menjadi buku berjudul “Religion of Java”. Dalam versi Indonesia buku itu berjudul “Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa”.
Akibat Kecemburuan Sosial
Menurut Geertz, mitos babi ngepet lahir dari masyarakat agraris Nusantara. Mitos ini awalnya muncul karena persaingan dan kecemburuan sosial antara petani.
Pada era kolonialisme Belanda, terutama sejak periode tanam paksa, banyak muncul orang-orang kaya baru di kalangan masyarakat Jawa. Mereka adalah para pedagang dari kaum pribumi atau Tionghoa yang menjadi kaya raya dalam sekejap.
Kala itu, ketika ada seorang petani atau orang biasa tiba-tiba kaya, maka akan menimbulkan kecurigaan. Para petani miskin benci terhadap petani yang kaya karena mereka bisa saja menindas para petani miskin lainnya.
Mereka juga bisa membeli tanah petani miskin hingga membuat petani miskin kehilangan kehidupan dan pekerjaan.
Maka terciptalah isu pesugihan babi ngepet sebagai label minor pada orang-orang kaya. tujuannya tak lain agar orang-orang tak lagi berurusan dan menjauhi para petani kaya.
Isu ini terus berkembang seiring zaman, dan menyebar dari generasi ke generasi dengan bumbu mistik.
Kenapa harus babi ngepet, bukan kucing ngepet atau kambing ngepet?
Masyarakat Nusantara yang hidup pada sektor pertanian memandang babi sebagai hama yang bisa merusak ladang. Sama halnya seperti petani kaya yang bisa merusak kehidupan petani miskin.
Pada masa itu babi hutan adalah hewan yang biasa berkeliaran di rumah-rumah warga yang notabene dekat dengan ladang maupun hutan. Mereka menganggap babi adalah peliharaan orang kaya yang mengambil harta mereka.
Terlebih, babi sebagai hewan haram dalam ajaran Islam membuat masyarakat melihat hewan ini sebagai sesuatu yang negatif.
Mitos Babi Ngepet Kian Tertanam
Mitos tentang babi ngepet kemudian berkembang bersama zaman. Film, majalah, hingga sinetron banyak memasukkan babi ngepet sebagai tema cerita. Tak pelak lagi, mitos ini makin menebal.
Film tentang babi ngepet pertama adalah “Tie Pat Kai Kawin atau Siloeman Babi Perang Siloeman Monyet!!!” yang tayang pada 1935 di Hindia Belanda.
Film tentang babi ngepet juga pernah digambarkan dalam film “Ingin Cepat Kay” yang tayang pada tahun 1976 sampai film “Skandal Cinta Babi Ngepet” yang tayang pada 2008.
Mengapa mitos babi ngepet terus eksis? Jawabannya karena masih adanya kecemburuan dan kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya.
‘Babi Ngepet’ Era Digital
Zaman terus berganti. Namun mitos babi ngepet tetap saja melekat kuat di masyarakat di era modern.
Orang-orang yang kaya tanpa terlihat bekerja selalu dianggap sebagai pemelihara tuyul, menjadi babi ngepet, atau berkomplot dengan setan. Babi ngepet tetap jadi alat untuk memberikan stigma buruk kepada orang-orang yang kaya.
Di era digital saat ini, orang bisa kaya raya tanpa harus bekerja ke luar rumah. Hanya duduk di depan laptop atau gadget, seseorang sudah bisa menghasilkan kekayaan yang berlimpah.
Jika babi ngepet identik sesuatu yang menghasilkan uang tanpa kerja keras, banyak sekali ‘babi ngepet’ di sekitar kita. Apalagi perkembangan teknologi seperti sekarang bisa menghasilkan uang tanpa terlihat bekerja adalah hal lumrah.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"