KONTEKS.CO.ID – Sejumlah aktivis yang terkonsolidasi dalam Konsolidasi Demokrasi Aktivis 98 (KDA 98) menggelar diskusi dan konsolidasi untuk memperkuat gagasan dan menyusun agenda aksi pada 25 Tahun Reformasi.
Seri diskusi digelar di Mako Coffea Jakarta dengan tema “Menuju 25 Tahun Reformasi, Dampak Penundaan Pemilu Terhadap Demokrasi, Hukum, Ekonomi, Sosial Politik dan Kebudayaan”.
Dalam pengantar diskusi, salah seorang pendiri FKSMJ Embay Supriyantoro mengakui semua elemen aktivis 1998 secara sengaja terus mengonsilidasikan pemikiran dan gagasan bersama terkait perjalanan 25 tahun reformasi. Sebab, salah satu isu utama yang didengungkan sejak 1998 hingga kini ternyata masih relevan, yaitu memerangi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Dalam enam pertemuan dan konsolidasi aktivis 1998 sebelumnya, kata Embay, semua elemen sepakat bahwa perjalanan 25 tahun reformasi mengalami kemunduran terhadap pemberantasan korupsi.
Sebelum era 1998, KKN hanya terpusat di relasi kekuasaan Soeharto. Namun kini sudah menjalar ke semua sektor. “Bahkan sudah menjalar ke birokrasi dan peran fungsi TNI/Polri sudah menjarah ke area sipil”, ujar Embay.
Diskusi dimoderatori mantan aktivis Pijar Indonesia Febby Lintang. Sementara pembicara dalam diskusi ini adalah mantan aktivis 98 yang juga akademisi Ubedillah Badrun, Niko Adrian, Ucok Sky Khadafi, Satyo Purwanto, dan Mahendra Uttunggadewa.
Kelima pembicara sepakat bahwa kerusakan yang dihasilkan dari rezim saat ini sudah paripurna. Itu sebabnya muncul gagasan agar aktivis 98 mampu memberikan solusi yang dapat diterima rakyat sehingga perubahan sejati bisa terwujud.
Dalam konteks pemilu 2024, para pembicara berandai-andai, jika penundaan pemilu tetap dipaksakan, maka aktivis 1998 akan menyiapkan pemerintahan transisi.
Agung Wibowo Hadi dari Forkot secara tegas menyatakan, jika penundaan pemilu benar-benar terjadi, maka akan terjadi vacum of power dalam politik Indonesia.
“DPR akan habis masa jabatannya pada bulan Oktober 2024 begitu juga Presiden. Maka akan terjadi kekosongan kepemimpinan politik” ungkap Agung Dekil, panggilan akrabnya.
Mahendra Uttunggadewa yang juga mantan aktivis FKSMJ lebih menelisik dampak terhadap budaya ketika pemilu ditunda. Terlebih saat ini, secara budaya, bangsa ini telah mengalami kemerosotan.
“Korupsi merajalela, kekerasan berlangsung dimana-mana, dan penguasa tidak menunjukkan ketauladanan sebagai cermin budaya bangsa,” kata Mahendra yang akrab disapa Dandhi.
Untuk itu Agung Dekil mengusulkan aktivis 1998 membentuk pemerintahan transisi jika pemilu benar-benar ditunda.”Tolak penundaan pemilu atau bentuk pemerintahan transisi,” seru Agung Dekil.
Lebih jauh, Niko Adrian mantan aktivis Forkot membedah dari sisi hukum bila skenario penundaan pemilu terus dilanjutkan.
Menurut Niko, konstitusi dan aturan hukum telah mengatur proses demokrasi Indonesia secara reguler harus berjalan. “Amandemen UUD 45 Pasal 22 e ayat 1 pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali. Termasuk dalam undang-undang tentang Pemilu,” ujar Niko.
Pendukung penundaan pemilu menyatakan penundaan pemilu diatur dalam TAP MPR. Namun faktanya, kata Niko, di tahun 1977 bukan penundaan pemilu karena memang belum diatur pemilu adalah 5 tahun sekali.
“Justru TAP MPR 1998 membuat percepatan Pemilu 1999. MPR saat ini tidak dapat membuat TAP lagi karena tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara.” jelas Niko
Ia menambahkan, satu-satunya alasan untuk penundaan pemilu adalah jika ada kondisi kerusuhan/ bencana alam/ SOB.
“Upaya menciptakan kerusuhan ini yang harus kita waspadai bersama agar bisa dicegah sehingga tidak ada alasan untuk menunda pemilu,” tegas Niko.
Ketegangan Sosial
Di bagian lain, Uchok Sky Khadafi mantan aktivis Famred menyatakan bahwa negara saat ini sedang krisis finansial, sehingga bisa menjadi alasan untuk dilakukan penundaan pemilu.
“Cadangan devisa negara kita saat ini sedang mengalami krisis, dimana hanya memiliki cadangan Rp100 T. Dan ini akan sangat berpotensi terjadinya krisis finansial yang berdampak pada krisis politik,” jelas Uchok.
Sementara itu Satyo Purwanto dari Forum Indonesia Semesta (FIS) mengatakan bahwa aktor-aktor politik yang masih menggaungkan tentang penundaan Pemilu menunjukkan bahwa mereka ada dalam satu orkestra.
“Sehingga kita bisa melihatnya, bahwa penundaan pemilu adalah bagian dari strategi rezim untuk bertahan dalam kekuasaannya,” kata Satyo.
Masih menurut aktivis yang akrab dipanggil Komeng, rezim sekarang adalah rezim gemar bikin perppu. Semua yang dianggap mengganggu kekuasaan politik rezim, pasti akan dijawab dengan menerbitkan perppu.
“Seperti KPK, Corona, Ciptaker. Dikhawatirkan akan muncul tiba-tiba perppu penundaan Pemilu,” papar Komeng.
Terkait kualitas demokrasi yang ada saat ini, Komeng menilai demokrasi jauh dari demokrasi yang berkualitas. “Walau klaimnya adalah demokrasi Pancasila. Karena tanpa ada keadilan, demokrasi tidak bermanfaat.” tegas Komeng.
Ubedillah Badrun, mantan aktivis FKSMJ menyatakan bahwa dampak yang ditimbulkan dari penundaan pemilu akan memunculkan ketegangan sosial. Sebab, harapan rakyat akan perbaikan pemimpin baru dimatikan oleh penundaan pemilu. Ubed memerkirakan bakal terjadi disharmoni antarwarga akan termanifestasi sebagai konflik sosial.
“Saat terjadi amuk, konflik sosial dan lain-lain, maka secara tidak langsung membuka karpet merah hadirnya kembali tentara di pucuk pimpinan nasional,” sebut Ubed mengingatkan. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"