KONTEKS. CO. ID – Dalam sebuah wawancara, musisi Bimo Setiawan Almachzumi alias Bimbim Slank bercerita tentang mimpi dan harapannya. Dia ingin agar sang putri, Mezzaluna D Azzuri, bisa menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Keinginan Bimbim tersebut untuk meneruskan darah politik dari kakek Bimbim, Soemarno Sosroatmodjo, yang pernah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 1960-1964 dan 1965-1966.
“Buyutnya dulu kan Gubernur Jakarta. Boleh dong keturunannya ikut. Kan dia sekolah politik di UK. Ambil jurusan Anthropology and Politics. Jadi sekalian saja. Kalau memang belajar, ayo dong terjun,” ujar Bimbim menjawab pertanyaan wartawan, termasuk Konteks.co.id, saat jumpa di gala premiere film Catatan Si Boy di Epicentrum XXI Jakarta pada Sabtu, 5 Agustus 2023.
Mezzaluna, anak Bimbim Slank, telah lulus dari jurusan ilmu antropologi dan politik University of Birmingham Inggris pada pertengahan Juli 2023.
Namun, Bimbim mengatakan tidak akan memaksakan mimpinya tersebut pada sang putri. “Kalau dia suka (didukung). Gue sih selalu ke anak-anak, teman-teman, saudara, selama kita suka dan enjoy, mau ikut ke mana saja jalan,” kata pendiri grup Slank ini.
Sejak kecil, Bimbim sudah terbiasa dengan dunia politik. Kakeknya, Soemarno Sosroatmodjo adalah Gubernur Jakarta era 1960-an. Hingga kini, musisi berusia lebih dari 50 tahun ini bersinggungan dengan beberapa kegiatan politik praktis.
“Bapak saya adalah anak Soemarno Sosroatmodjo. Sedangkan saya ini cucunya,” ungkap Bimbim.
Selain pernah menjabat Gubernur DKI Jakarta dua kali, kakek Bimbim juga merangkap jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri RI atas perintah Presiden Soekarno.
Soemarno adalah Gubernur Jakarta pertama yang menggagas program rumah minimum (minimalis) untuk rakyat Jakarta. Sebuah gagasan yang tujuannya kurang lebih sama dengan program rumah DP (down payment) nol rupiah. Bedanya, gagasan Soemarno terwujud dan dinikmati masyarakat Jakarta hingga kini.
Dokter Tentara Kesayangan Soekarno
Soemarno Sosroatmodjo lahir di Jember, Jawa Timur, pada 24 April 1911. Sebelum terjun ke kancah politik, ia adalah seorang dokter militer yang kerap bertugas ke wilayah-wilayah pelosok.
Banyak kisah menarik Soemarno semasa berdinas sebagai dokter pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kakek Bimbim ini menulisnya dalam buku otobiografinya berjudul “Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya” yang terbit pada 1981.
Buku itu antara lain menuliskan pengalaman pertama Soemarno bertugas di luar Jawa adalah pada pertengahan Juni 1938.
Saat itu ia ditempatkan di Tanjung Selor. Setahun kemudian, Soemarno pindah tempat dinas ke Kuala Kapuas.
Seharusnya, ia hanya beberapa bulan saja bertugas di wilayah yang kini menjadi ibu kota Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, itu. Namun saat hendak pulang ke Jawa, Perang Asia Timur Raya yang melibatkan Sekutu versus Jepang sedang panas.
Hal itu membuat kepulangan Soemarno harus tertunda. Ia bertahan di Kalimantan dan terus melayani masyarakat selama era pendudukan Jepang.
Soemarno dan keluarganya baru bisa berangkat ke Jawa setelah Indonesia merdeka tahun 1945. Itu pun harus tetap waspada lantaran perang berkecamuk di mana-mana seiring kembalinya Belanda.
Soemarno bertolak dari Kalimantan dengan menumpang perahu kecil menuju Bangkalan, Madura, kemudian menetap di Malang. Selama beberapa waktu di Malang, Soemarno, dokter yang terikat dinas dengan pemerintah kolonial, menganggur karena Hindia Belanda telah runtuh.
Saat meletus peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, Soemarno memutuskan bergabung dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Ia bergabung sebagai dokter tentara dengan pangkat kapten.
Usul Bentuk KOWAD
Seiring tugasnya sebagai dokter militer, Soemarno pernah memimpin rumah sakit tentara di Solo selama sisa masa Revolusi.
Ia lalu bertugas sebagai tenaga medis untuk militer dalam operasi penumpasan gerakan separatis di Sulawesi Selatan dan Maluku setelah penyerahan kedaulatan sejak akhir 1949.
Kemudian Soemarno diangkat sebagai Kepala Pendidikan Kesehatan Angkatan Darat di Jakarta pada 1953.
Tahun 1959, ia mengusulkan agar dibentuk Korps Wanita Angkatan Darat (KOWAD). Namun, usulnya itu sempat menjadi perdebatan alot karena peran kaum perempuan saat itu belum dianggap penting.
Presiden Soekarno semakin terpesona pada Soemarno dengan sederet sepak-terjangnya ketika menjadi Asisten III Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad).
Kala itu, jabatan Kasad diemban Jenderal AH Nasution. Maka, sejak 29 Januari 1960, Presiden menunjuknya sebagai Gubernur Jakarta.
Misi Membersihkan Jakarta
Soemarno Sosroatmodjo adalah gubernur pertama ketika status Jakarta Raya berubah menjadi Daerah Tingkat I.
Penetapan Jakarta sebagai Ibu kota RI, berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964, juga terjadi pada masa kepemimpinannya.
Hal itu menjadi tantangan besar bagi Soemarno untuk menjadikan Jakarta sebagai wajah Indonesia pertama yang bakal jadi sorotan dunia. Dari situlah Soemarno memusatkan fokus untuk menangani kebersihan, kesehatan, lapangan kerja, dan perumahan untuk rakyat.
Baru 5 hari menjadi gubernur, suami dari Armistiani Soemarno Sosroatmodjo ini mendapatkan cobaan. Kala itu, banjir besar melanda ibu kota.
Banjir membuat seluruh Jakarta menjadi kotor dan kumuh. Sang gubernur berpikir keras, bergerak cepat dan cerdas untuk mengatasi masalah kebersihan tersebut.
Apalagi Presiden Soekarno ikut turun langsung guna memantau kondisi ibu kota pasca banjir. Presiden lalu memberikan tantangan lain pada gubernur.
Bangun Landmark, Gelar Event
Presiden ingin menjadikan Jakarta sebagai kota teladan bagi daerah-daerah lain di Indonesia, sekaligus mercusuar dunia ketiga di kancah internasional.
Untuk itulah Presiden Sukarno memerintahkan pembangunan besar-besaran sejumlah landmark Jakarta. Di antaranya membangun Monumen Nasional (Monas), stadion dan kompleks olahraga GBK di Senayan, Patung Selamat Datang, Patung Pahlawan (Tugu Tani), Proyek Ancol, Proyek Senen, dan seterusnya.
Presiden Soekarno juga menghendaki Jakarta bersih karena akan menggelar sejumlah event besar bertaraf dunia, seperti Asian Games dan Games of the New Emerging Forces (Ganefo) 1962.
Event Ganefo jadi tantangan berat Gubernur Jakarta. Karena saat itu Indonesia sedang galak-galaknya terhadap negara-negara liberal, tengah berkonfrontasi pula dengan Malaysia. Belum lagi urusan pembebasan Irian Barat.
Dalam mengatasi masalah kebersihan, Soemarno menerapkan sejumlah kebijakan.
Salah satunya adalah menginstruksikan petugas kebersihan “beraksi” menjelang subuh. Tujuannya agar jalan-jalan di ibu kota sudah bersih sebelum warga ke luar rumah untuk beraktivitas.
Ia juga menggalakkan lomba kebersihan antar stasiun kereta api dan antar toko. Nyaris semua warga ia libatkan dalam program gerakan kebersihan ini.
Selain itu, setiap pukul 08.00 WIB sirene akan berbunyi di berbagai tempat. Seluruh orang, termasuk mereka yang ada di dalam mobil, harus turun untuk membersihkan jalan di sekitarnya selama beberapa menit.
Rumah Murah Masyarakat Bawah
Prestasi monumental Soemarno Sosroatmodjo adalah saat Presiden Soekarno memberikan amanat baru yang lebih kompleks.
“Marno, sebagai pemimpin kamu harus mampu berpikir tentang apa yang bisa kamu perbuat untuk rakyatmu lima puluh tahun yang akan datang. Kamu harus mampu membayangkan apa yang dibutuhkan oleh rakyatmu, rakyat Jakarta. Bukan untuk satu atau dua tahun ke depan, tapi lima puluh atau seratus tahun ke depan,” ujar Soekarno.
Soemarno menjawab amanat Soekarno dengan membuat kebijakan terkait kebutuhan rakyat Jakarta akan tempat tinggal yang layak. Ia menggagas perumahan untuk rakyat, yang dikenal dengan program rumah minimum.
“Kalau kita bisa menyelenggarakan Asian Games, maka sayang sekali kalau kita tidak bisa menyelesaikan soal perumahan.” kata Soemarno kepada wartawan Star Weekly.
Konsepnya adalah rumah dengan luas bangunan 90 meter persegi yang terdiri dari 2 lantai. Bangunan itu berdiri di atas tanah seluas 100 meter persegi.
Sasarannya adalah masyarakat menengah ke bawah, terutama untuk kaum pekerja. Area proyek rumah minimum adalah lokasi yang berdekatan dengan tempat kerja dan area perbelanjaan.
Oleh sebab itu, Soemarno mengimbau kepada perkantoran, pabrik, atau pusat perbelanjaan agar membantu penyediaan lahan untuk tujuan ini.
Beberapa lokasi pertama pembangunan rumah minimum era Soemarno antara lain adalah Raden Saleh (Jakarta Pusat), Karang Anyar (Jakarta Pusat), Tanjung Priok (Jakarta Utara), dan Bandengan Selatan (Jakarta Utara).
Pertimbangan Soemarno membangun di beberapa wilayah tersebut adalah dekat dengan pusat aktivitas kerja rakyat dan sentra ekonomi. Selain itu, lokasi-lokasi tersebut juga sempat cukup lama terbengkalai karena hancur akibat kebakaran.
Lantaran sasaran utamanya adalah masyarakat menengah ke bawah, maka harga yang jualnya pun sangat terjangkau. Pemerintah Jakarta memasok lahan murah dan mengembangkannya dengan menggandeng perusahaan swasta.
Soemarno yakin rumah merupakan kebutuhan dasar rakyat Jakarta dan tugas utama pemerintah adalah menyediakannya.
Tetapi ada kalanya upaya Soemarno untuk membebaskan lahan tidak selalu berhasil, salah satunya di kawasan Pulo Mas (Jakarta Timur). Namun program rintisan Soemarno ini telah memberikan manfaat bagi warga Jakarta dalam jangka waktu yang lama.
Karier Surut Loyalis Soekarno
Soemarno sempat merangkap jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri RI pada 27 Agustus 1964 – 28 Maret 1966 atas perintah Presiden.
Namun setelah tragedi G 30S PKI meletus pada 30 September 1965 dan kekuasaan Orde Lama tumbang, karier loyalis Soekarno ini ikut surut.
Pada 28 April 1966, atau berselang sebulan setelah tidak lagi menjabat Mendagri, Soemarno juga lengser dari kursi Gubernur Jakarta. Penggantinya adalah wakilnya, Henk Ngantung, yang juga seorang seniman.
Soemarno Sosroatmodjo wafat di Jakarta pada 9 Januari 1991 dalam usia 79 tahun.
Atas pengabdiannya melayani masyarakat Kalimantan selama bertugas sebagai dokter, nama kakek Bimbim Slank ini diabadikan sebagai nama dua rumah sakit di Tanjung Selor dan Kapuas. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"