KONTEKS.CO.ID – Pulau Dewata Bali tidak hanya terkenal dengan keindahan alamnya, tetapi juga dengan budaya gotong royong yang tinggi. Salah satu contoh budaya tersebut adalah melalui organisasi Subak, yang memainkan peran penting dalam pengelolaan sistem irigasi sawah dan pertanian di Bali.
Subak tidak hanya menjadi penyambung tangan kesejahteraan petani, tetapi juga mencerminkan filosofi Tri Hita Karana yang mendasari kehidupan masyarakat Bali.
Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang bertanggung jawab atas pengaturan dan pengelolaan sistem pengairan sawah di Bali.
Sistem irigasi ini memainkan peran krusial dalam menjaga kualitas hasil pertanian dan pertumbuhan bibit tanaman yang berkualitas.
Manfaat Subak di Bali
Masyarakat Bali percaya bahwa sektor pertanian akan mengalami kemunduran tanpa adanya komitmen dan kesepakatan bersama dalam merawat sawah.
Oleh karena itu, Subak menjadi wadah bagi petani untuk menjaga dan merawat keberlanjutan pertanian mereka.
Keberadaan Subak memberikan manfaat yang besar bagi petani Bali. Salah satunya adalah melalui sistem irigasi yang berbasis keadilan bersama.
Jika ada petani yang kesulitan mendapatkan air selama masa krisis, Subak hadir untuk memberikan solusi agar air bisa terbagi secara merata kepada semua petani.
Hal ini membantu menghindari konflik yang mungkin terjadi antar petani dalam memperebutkan aliran air.
Selain itu, Subak juga berperan dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Melalui sistem irigasi yang adil, petani tetap dapat memperoleh air meskipun dalam situasi krisis.
Sistem ini juga berkontribusi dalam meningkatkan kearifan lokal dan memajukan Koperasi Unit Desa yang ada.
Dengan demikian, Subak memiliki peran yang signifikan dalam bidang pertanian, khususnya dalam pengairan lahan pertanian, sehingga perlu dijaga dan dirawat untuk kesejahteraan petani dan masyarakat Bali secara keseluruhan.
Filosofi Tri Hita Karana
Subak juga merupakan manifestasi dari filosofi Tri Hita Karana, yang berarti tiga penyebab terciptanya kebahagiaan dan kesejahteraan.
Konsep ini melibatkan hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), sesama manusia (Pawongan), dan alam serta lingkungannya (Palemahan).
Sistem Subak di Bali mencerminkan konsep ini dengan menyatukan roh, manusia, dan alam dalam pengelolaan sumber daya air yang demokratis dan egaliter.
Sistem Subak di Bali telah menjadi warisan budaya yang diakui oleh UNESCO. Lanskap budaya Bali, yang mencakup sawah dan candi air seluas 19.500 hektar, merupakan fokus utama dari sistem pengelolaan saluran air bersama.
Sistem ini telah ada sejak abad ke-9 dan menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Bali. Melalui praktik pertanian yang demokratis, Subak memungkinkan petani Bali menjadi yang paling produktif di Indonesia, meskipun menghadapi tantangan dalam mendukung populasi yang padat.
Subak dan filosofi Tri Hita Karana di Bali merupakan contoh nyata kebersamaan dan kesuksesan dalam pertanian.
Keberadaan Subak tidak hanya memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, tetapi juga menjaga keselarasan antara manusia, Tuhan, dan alam.
Melalui gotong royong dan kearifan lokal, Bali telah menciptakan sebuah model yang bisa menjadi inspirasi bagi daerah lain. Terutama dalam hal mengelola sumber daya alam dan mencapai keberlanjutan dalam pertanian.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"