KONTEKS.CO.ID – Sidang kelima gugat cerai Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika terhadap suaminya Dedi Mulyadi mengungkap adanya perasaan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT secara verbal atau psikis yang dialami Anne Ratna.
Dalam sidang dengan agenda mediasi digelar di Kantor Pengadilan Agama Purwakarta, Rabu, 16 November 2022, Anne Ratna mengaku mengalami hal itu dan tetap ingin sidang gugatan terhadap Dedi Mulyadi diteruskan.
Dalam upaya mediasi, keduanya tak mendapatkan titik temu dan akhirnya memilih untuk bercerai. Selain kekerasan verbal atau KDRT psikis, Anne juga membahasan mengenai nafkah lahir dan batin.
Lalu apa itu KDRT psikis yang dianggap dialami oleh Anne Ratna Mustika itu.
Dikutip dari klikdokter, selain kekerasan fisik, KDRT juga dapat ditandai dengan penyerangan pada psikis korban. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri atau kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Selain cacian dan makian, tanda kekerasan dalam rumah tangga yang menyerang psikis juga bisa berupa pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial.
Contoh dari bentuk kekerasan ini, yaitu pasangan pencemburu yang melarang pasangannya untuk bergaul dengan siapa pun selain dirinya.
Kekerasan Psikis suatu Tindak Pidana
Dikutip dari jurnal artikel lex crime yang ditulis Resti Arini, tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tampaknya semakin mudah saja terjadi tetapi sangat sulit untuk diketahui.
Kekerasan psikis yang sering terjadi dalam rumah tangga sering kali dianggap sekedar “bumbu” perkawinan bahkan dianggap biasa saja sehingga pihak luar tidak pantas mencampurinya, padahal dari kekerasan psikis tersebut itulah dapat berkembang menjadi kekerasan lainnya.
Kekerasan psikis KDRT merupakan suatu tindakan melawan hukum yang mana terhadap pelakunya sudah sepantasnya dikenai sanksi pidana. Selain merupakan suatu tindakan melawan hukum, juga merupakan suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Oleh karena itu, dengan adanya Undang-Undang No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, persoalan kekerasan psikis dalam rumah tangga yang dahulu hanya sekedar persoalan keluarga sekarang telah berubah menjadi persoalan hukum.
Siapa saja boleh mengadukan kepada aparat penegak hukum atas kasus-kasus kekerasan psikis tanpa perlu takut dianggap sebagai upaya mencampuri keluarga lain.
Barang siapa yang melakukan tindakan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga, maka seseorang tersebut telah melakukan tindakan melawan hukum, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 45, yaitu:
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.9000.000 (Sembilan juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp.3.000.000 (tiga juta rupiah).
Sementara itu dalam kaitannya dengan tindakan kekerasan psikis, pembuktian menempati titik sentral dalam menyelesaikan perkara tersebut. Adapun tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan menempatkan kebenaran materiil dan bukanlah untuk mencari kesalahan orang lain. Pembuktian ini dilakukan demi kepentingan hakim yang harus memutuskan perkara.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"