KONTEKS.CO.ID – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS merespons debat perdana calon presiden yang dianggap kurang maksimal menguji ‘Isi Kepala’ calon presiden dalam membahas topik HAM secara substansi.
Dalam debat topik soal pemerintahan, hukum HAM, pemberantasan korupsi, penguatan demokrasi, serta peningkatan layanan publik dan kerukunan warga.
Koordinator Badan Pekerja KontraS Dimas Bagus Arya mengantakan, bahwa momentum debat ini masih kurang maksimal karena waktu pemaparan yang terbatas dan isu HAM belum dibahas secara menyeluruh.
Beberapa isu atau topik dianggap penting oleh KontraS tetapi belum sempat dibahas. Terutama peran Presiden dalam kaitannya menjalankan reformasi sektor keamanan dan mencegah institusi keamanan seperti Polri dan TNI yang terus melakukan pelanggaran HAM.
Selain itu, isu-isu seperti komitmen para pasangan untuk menghentikan pelanggaran HAM dalam pembangunan dan langkah yang dilakukan dalam mengembalikan kebebasan akademik tidak sama sekali dibahas.
KontraS memberikan catatan sebagai berikut:
Tak Ada Komitmen Perlindungan, Penghormatan dan Pemenuhan HAM
Dalam empat menit waktu yang diberikan, Anies Baswedan berfokus pada prinsip negara hukum yang tidak ditegakan sesuai kepentingan kekuasaan, fenomena pelaporan kepada aparat yang tidak ditindaklanjuti dan peristiwa 21-23 Mei 2019 lalu.
Prabowo Subianto hanya banyak bercerita soal kisahnya berkarier sebagai prajurit, bahkan tidak menyentuh tema yang seharusnya.
Ganjar Pranowo berangkat dari permasalahan di berbagai daerah di Indonesia seperti akses kesehatan, hak atas pekerjaan, sampai hak atas fasilitas pendidikan.
Ganjar menyebut soal intimidasi terhadap kebebasan berekspresi, serta pemerintahan bersih serta akomodatif.
“Berdasarkan pemaparan di sesi awal tersebut, kami menilai bahwa ketiga capres tidak menunjukan komitmennya soal memimpin arah gerak kemajuan dan peradaban HAM di Indonesia, lewat sejumlah langkah strategis,” ujar Bagus Arya dalam keterangan pada Rabu, 13 Desember 2023.
Badan Pekerja KontranS tidak menemukan visi besar dalam penegakan HAM, padahal dalam sistem negara presidensialisme, otoritas-kewenangan yang diberikan Presiden sangat besar.
Prabowo Gagal Paham
Badan Pekerja KontranS menganggap Prabowo telah gagal paham terkait dengan problematika kemanusiaan yang terus berlangsung dan justru ingin melanjutkan pendekatan militerisasi di Papua.
Prabowo tidak sama sekali menjawab pertanyaan, bahkan justru menyatakan permasalahan di Papua adalah soal separatisme, campur tangan asing, dan pihak-pihak yang selalu ingin Indonesia disintegrasi.
“Kami anggap sebagai pandangan yang keliru total dan gagalnya Prabowo dalam menangkap akar masalah yang menyebabkan konflik dan kekerasan di Papua. Prabowo justru menormalisasi pendekatan militerisasi lewat pengerahan aparat keamanan dan stigmatisasi dengan menyebut kelompok pro kemerdekaan sebagai separatis dan teroris,” kata Bagus Arya.
KontraS menyampaikan belum ada penuntasan persoalan di Papua. Terbukti dalam setahun terakhir setidaknya terjadi 46 peristiwa kekerasan terhadap warga sipil di Papua yang menyebabkan 66 orang terluka dan 41 orang tewas.
Sementara itu, Ganjar Pranowo menawarkan jalan duduk bersama dan dialog soal roots masalahnya. Adapun Anies Baswedan mengungkap persoalan ketidakadilan di Papua, mencegah berulangnya kekerasan dan menyelesaikan lewat dialog co-partisipatif.
“Kami menilai bahwa komitmen kedua capres ini positif, tetapi belum sepenuhnya komprehensif, sebab waktunya sangat terbatas dalam menanggapi yakni hanya satu menit,” katanya lagi.
Prabowo Tak Mengerti Prinsip Negara Hukum dan Negara Demokratis
Pada sesi ketiga debat, terkait dengan topik penguatan demokrasi. Anies menyebutkan bahwa pilar demokrasi bukan hanya partai politik, melainkan terdapat tiga hal penting lain.
Terjaminnya kebebasan berbicara, adanya kekuatan oposisi dan proses pemilu yang diselenggarakan secara netral serta transparan.
Tapi saat diberikan kesempatan menanggapi, Prabowo terlihat begitu emosional dengan mengungkap bahwa negara sudah demokratis terbukti dari menangnya Anies Baswedan di pilkada tahun 2017.
Hal ini justru menunjukan ketidakpahaman Prabowo soal nilai penting demokrasi dengan hanya mensimplifikasi demokrasi hanya sebatas lewat pengambilan surat suara lewat pemilu.
Jika lebih substansial, proses demokratisasi di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan memang mengalami regresivitas yang signifikan. Hal tersebut terbukti dari sejumlah laporan dan penelitian yang dirilis oleh berbagai lembaga,
Economist Intelligence Unit (EIU) menyatakan kinerja demokrasi Indonesia bergerak stagnan. Indonesia menempati angka 6,71 poin dan masih belum bergerak dari kategori demokrasi cacat (flawed demokrasi).
“Debat seharusnya dapat mengangkat indikator dan penyebab terus anjloknya indeks demokrasi seperti halnya represi yang terus terjadi di ruang publik dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang masih menjadi momok kebebasan berpendapat di ruang digital,” ujar Badan Pekerja KontraS.
Pelanggaran HAM Berat Jadi Isu Panas
Penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM berat menjadi isu panas. Terutama antara Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto pada sesi tanya jawab dalam segmen kelima.
Ganjar sempat menanyakan komitmen Prabowo Subianto dalam penuntasan kasus penghilangan aktivis 1997/1998. Berkaitan dengan komitmen Prabowo dalam menjalankan rekomendasi Pansus DPR RI tahun 2009 kepada Presiden untuk membentuk pengadilan HAM.
Ditemukan ada 13 korban penghilangan paksa pada 1997-1998, pemulihan dan kompensasi pada korban pelanggaran HAM berat, dan meratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa termasuk berkaitan dengan pencarian 13 korban penghilangan paksa agar mereka ditemukan sehingga ibu dari para korban yang selama ini menanti kejelasan soal anaknya.
Tidak muncul keberanian dari Prabowo Subianto untuk berkomitmen dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Bahkan, tanggapan Prabowo terkait penuntasan kasus penghilangan aktivis 1997-1998, justru mengafirmasi dirinya diduga terlibat dalam kasus tersebut.
Hal ini dibuktikan dengan adanya dua pola jawaban yang muncul berkaitan dengan pemenuhan jawaban sebelumnya atas keterlibatannya dalam kasus tersebut ke beberapa pihak dan media, serta menyebutkan bahwa beberapa korban penculikan aktivis 1997-1998 yang telah dikembalikan saat ini berada dipihaknya.
Jawaban tersebut patut disesalkan karena Prabowo mencampurkan hubungan politik personal korban dengan dirinya. Upaya hukum penuntasan pelanggaran HAM berat sama sekali tidak dapat dihubungkan dengan pilihan politik korban, alih-alih menjawab dengan mengemukakan strategi yang akan dilakukan untuk menuntaskan kasus, Prabowo justru ‘berlindung’ pada dukungan aktivis 98 kepadanya.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"