KONTEKS.CO.ID – Sebelum tersohor sebagai artis legendaris, perjalanan karier seorang Sofia WD cukup berliku. Ia pernah menjadi intel perempuan di masa revolusi, menjadi sutradara di era awal perfilman Indonesia, hingga mendapat julukan artis jenius legendaris.
Sofia Waldy yang lebih dikenal dengan nama Sofia WD malang melintang di dunia perfilman Indonesia selama 30 tahun lebih. Peraih Piala Citra 1973 ini bahkan menjadi sutradara perempuan kedua di Indonesia.
Namun sebelum terjun di gemerlap dunia film, tak banyak yang tahu bahwa Sofia WD pernah menjadi anggota intelijen tempur di masa perjuangan kemerdekaan RI.Â
Intel Perempuan Berpangkat Serma
Sofia lahir di Bandung, 12 Oktober 1925. Ia lahir sebagai anak kedua dari pasangan pedagang Apandi dan Sumirah.
Setelah tamat HIS (1935) dan Darul Muta’allimin, ia bekerja pada sebuah perusahaan milik Jepang. Bersamaan dengan itu ia bergabung dengan grup sandiwara Irama Massa.
Mulanya Sofia hanya sebagai pembawa pesan perusahaan kepada penonton. Karena nasib baik, ia berhasil menjadi pemeran utama. Ternyata, pengalaman akting inilah yang kelak membawanya ke puncak karier.
Dalam usia 14 tahun ia menikah pertama kali dengan Eddy Endang, seorang kapten dari Kesatuan Siliwangi. Sepanjang hidupnya, ia menikah tiga kali.
Pada Mei 1946, Menteri Pertahanan Amir Syarifudin, Panglima Besar Sudirman, dan Kepala Intelijen pertama Zulkifli Lubis mendirikan Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani) dan unit khusus bernama Field Preparation atau FP.
FP merupakan satuan khusus intelijen yang bertugas menyusup ke berbagai daerah di Indonesia untuk mengumpulkan informasi mengenai kekuatan Belanda dan Sekutu. Jika musuh menyerang, satuan ni bertugas memersiapkan situasi lapangan dan melakukan operasi gerilya di garis belakang.
Zulkifli Lubis merekrut para pejuang berbakat untuk menjadi pasukan intelijen. Sebagian besar pejuang rekrutan adalah mantan tentara PETA dan Pemuda Pelajar. Sejumlah nama besar di kemudian hari seperti Bambang Supeno, Suprapto, dan Tjokropranolo adalah beberapa rekrutan Zulkifli.
Eddy Endang juga termasuk tentara yang ikut serta bergabung di FP. Ia membawa serta istrinya, Sofia, yang kala itu berusia 22 tahun. Eddy berpangkat kapten, sementara Sofia berpangkat Sersan Mayor (Serma).
Status suami istri dianggap menguntungkan sebagai intelijen. Apalagi paras Sofia yang cantik akan memudahkannya dalam berbaur dengan berbagai kalangan.
Eddy Endang Terbunuh DI/TII
Zulkifli Lubis menempatkan Eddy dan Sofia di Purwakarta. Beberapa bulan kemudian, Belanda melakukan agresi militer pertama pada 21 Juli 1947. Pasutri ini pun menyingkir ke Garut.
Namun agresi militer Belanda membuat keduanya terpaksa berpisah. Sofia bertahan di markas FPI, Kapten Eddy bergerilya di hutan.
Militer Belanda terus mendesak posisi pasukan Republik. Kondisi itu menyebabkan Sofia harus membakar semua dokumen penting milik suaminya, termasuk surat keterangan bahwa ia dan Eddy suami istri.
Suatu hari Sofia mendengar kabar bahwa sekelompok tentara bagian dari pemberontak DI/TII telah menculik dan membunuh suaminya. Pembunuban itu terjadi di Kampung Bungur, Jawa Barat, pada 23 Oktober 1947.
Belakangan, jurnalis senior Harian Umum Suara Karya di Jawa Barat, Yoyo Dasriyo, bercerita kepada Sofia bahwa eksekusi terhadap Eddy sangat kejam.
Menurut penelusuran Yodaz, Eddy dimasukkan ke dalam keranjang bambu lalu ditusuk-tusuk dengan bambu runcing. Dalam kondisi sekarat Eddy dibuang ke Sungai Cimanuk.
Sofia terpukul mendengar kematian sang suami. Dengan membawa anak-anaknya, Sofia meninggalkan Garut dengan menyamar menjadi istri penjual minyak tanah. Ia masuk ke kota Bandung yang saat itu sudah dikuasai Belanda.
Sofia dan dua anaknya tinggal bersama mertuanya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, ia membuka warung nasi kecil-kecilan.
Kematian suaminya telah menimbulkan luka mendalam di hati Sofia. Ia pun memutuskan untuk keluar dari dinas ketentaraan.
Saat hendak keluar dari militer, sebenarnya Sofia sempat dekat dengan seorang perwira AURI bernama Wagino Dachlin Muchtar atau WD Mochtar. Saat itu perwira asal Yogyakarta ini adalah anggota satuan khusus FP yang bertugas di palagan Karawang-Bekasi.
Kedekatan mereka tidak berlanjut karena Sofia sulit melepaskan bayang kematian suaminya. apalagi kondisi revolusi saat itu seba tak menentu.
“Tak ada pikiran untuk menikah lagi saat itu,” ungkap Sofia kepada Yodaz sebagaikana tertulis dalam buku berjudul “Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia” karya Misbach Yusa Biran pada 2009.
Main Film Pertama
Suatu hari, rombongan kru perusahaan pementasan sandiwara Toneelkunst milik artis fifi Young mampir ke warung milik Sofia. Karena merasa cocok dengan masakan Sofia, para kru memutuskan terus makan di warung itu selama pementasan di Bandung berlangsung.
Ternyata Sofia dan suami Fifi, yaitu Njoo Cheong Seng, saling kenal. Mereka pun mengajak Sofia bergabung di kelompok pementasan sandiwara ini.
Sofia yang beberapa kali melakukan pementasan sandiwara saat masih di kesatuan tentara menerima ajakan tersebut. Ia pun ikut pementasan di Jakarta.
Ternyata penonton menyukai akting Sofia. Aktingnya bahkan menarik perhatian sejumlah produser pementasan sandiwara saat itu.
Aktor kenamaan Ramli Rasyid yang mengajaknya bergabung dengan Tan & Wong Bros Film. Perusahaan itu tengah menyiapkan film berjudul “Air Mata Mengalir di Tjitarum”.
Sofia pun menerima tawaran main di film Air Mata Mengalir di Tjitarum yang rilis pada 1948. Lantaran kisahnya mirip dengan cerita cinta Sofia dan Eddy.
Ketika film ini edar tayang, banyak kawan seperjuangan Sofia yang bangga dan terharu. Sebab, jalan cerita film itu mirip dengan kisah hidup Sofia dan Eddy.
Sejak saat itu naman Sofia semakin berkibar di dunia perfilman. Ia bahkan didapuk sebagai pengganti aktris beken zaman itu yaitu Miss Roekiah. Roekiah merupakan aktris dan penyanyi keroncong Indonesia yang wafat pada 2 September 1945.
Sofia kemudian menikah dengan Waldemar Caerel Hunter beken dengan nama panggung S Waldy.
Pria berdarah Indo Jerman itu berprofesi sebagai aktor panggung, bintang film, sutradara, dan komedian.
Sofia WD Artis Jenius
Sejak saat itu, Sofia sukses membintangi ratusan film Indonesia.
Sofia juga terhitung aktris yang jenius. Selain main film, ia juga memperlajari teknik penyutradaraan, kamera, dan penataan gambar secara otodidak. Sofia pernah merangkap menjadi asisten juru kamera saat syuting film “Djula Djuli Bintang Tiga” pada 1954.
Selain berakting, dia juga mempelajari teknik penyutradaraan kamera dan penataan gambar. Semua itu ia pelajari secara otodidak.
Sofia tak cuma kondang sebagai pemain film. Ia juga sutradara dan pimpinan produksi film perempuan kedua di Indonesia. Sutradara perempuan pertama adalah Ratna Asmara yang membesut film “Sedap Malam” pada 1950.
Film pertama yang disutradarainya berjudul “Badai Selatan” yang diproduksi tahun 1960. Film Ini mendapat penghargaan khusus pada Festival Film Berlin 1963.
Menikah dengan WD Mochtar
Film “Badai Selatan” mempertemukan kembali Sofia dengan WD Muchtar, sang perwira AURI yang ternyata ikut terjun ke dunia film.
Tapi saat itu hubungan keduanya tak lebih sebagai sahabat dan mitra kerja sebab Sofia masih bersuami.
Pada 1962, S. Waldy meninggal dunia.
Setahun kemudian WD Mochtar melamar Sofia. Sejak saat itu, Sofia menabalkan dirinya sebagai Nyonya WD Mochtar atau lebih dikenal sebagai Sofia WD.
Bersama WD Mochtar, Sofia mendirikan Libra Film yang memproduksi film-film laga seperti “Si Bego dari Muara Condet”, “Singa Betina dari Marunda”, “Si Bego Menumpas Kucing Hitam”, dan lain-lain.
Kiprah Sofia sebagai sutradara dan aktris semakin bersinar. Ini lantaran film-filmnya banyak mendapat penghargaan.
Salah satunya film “Mutiara Dalam Lumpur” yang menjadikan Sofia sebagai pemain watak terbaik dalam Piala Citra tahun 1973.
Ketua PARFI 1971-1974 ini juga ikut berperan dalam film Pengkhianatan G30S PKI sebagai pemain pendukung.
Pada 23 Juli 1986, dunia perfilman Indonesia berduka, Sofia WD meninggal dunia karena serangan jantung di Rumah Sakit Cikini dalam usia 62 tahun.
Sebelum meninggal dunia, Sofia WD masih aktif, film Yang Kukuh Yang Runtuh (1985) adalah aktingnya yang terakhir.
Sofia WD, yang mendapat penghargaan Bintang Gerilya dari pemerintah RI, menerima pemakamkan secara militer di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"