KONTEKS.CO.ID – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan perekonomian Indonesia dan global akan menghadapi tekanan bertubi-tubi pada tahun ini.
Dalam pengumuman kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per Kuartal I-2024, Jumat, 26 April 2024, Sri Mulyani menyoroti beberapa faktor yang memengaruhi situasi ekonomi.
Termasuk harga komoditas yang fluktuatif, inflasi yang tinggi, dan kebijakan suku bunga bank sentral AS yang cenderung tinggi.
Tekanan tersebut, menurut Sri Mulyani, terpicu oleh meningkatnya ketegangan konflik geopolitik di Timur Tengah.
Selain itu juga kebijakan suku bunga acuan bank sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed) yang mungkin tetap tinggi karena tingginya tingkat inflasi di AS.
“Situasi global yang cenderung melemah dan tekanan yang terus meningkat dari harga komoditas, inflasi, dan suku bunga akan memengaruhi kinerja ekonomi global secara keseluruhan, terutama sektor manufaktur. Namun, Indonesia masih mempertahankan kondisi ekspansif yang relatif baik,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN.
Dia menambahkan, pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2024 terproyeksikan stagnan.
Pertumbuhan ekonomi sebesar 3,2% menurut proyeksi IMF, yang sama dengan kondisi pertumbuhan pada tahun 2023.
Meskipun demikian, beberapa lembaga lain, seperti OECD dan Bank Dunia, memprediksi pertumbuhan ekonomi global di bawah proyeksi IMF, 2,9 persen atau lebih rendah.
Ekonomi Indonesia
Di tengah situasi global yang tidak pasti tersebut, Sri Mulyani mencatat ekonomi Indonesia tetap stabil dengan pertumbuhan yang diproyeksikan sebesar 5,0% untuk tahun ini.
IMF juga memprediksi ekonomi Indonesia akan naik sedikit menjadi 5,1% pada tahun 2025.
Stabilitas ekonomi Indonesia, menurut Sri Mulyani, terutama ditopang oleh kinerja positif sektor manufaktur.
Ini tercermin dari Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur per Maret 2024 yang masih di atas level 50, menunjukkan ekspansi. PMI Manufaktur Indonesia pada bulan itu di level 54,2.
Di sisi lain, sebagian besar negara-negara lain mengalami kontraksi dalam indeks manufaktur mereka.
Meskipun demikian, Sri Mulyani menekankan pentingnya kewaspadaan karena potensi tekanan masih ada, terutama dari pelemahan nilai tukar rupiah.
Meskipun Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga acuan, rupiah masih berada di level Rp16.200 per dolar AS.
Situasi ini dipicu oleh harapan pasar terhadap penurunan suku bunga di AS yang tidak terjadi. Akhirnya berdampak pada nilai tukar mata uang.
“Kalau dolar kuat maka mata uang negara lain cenderung melemah,” kayanya.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"