KONTEKS.CO.ID – Pengadilan Negeri Jakarta Timur kembali menggelar sidang mediasi perkara utang-piutang yang menyeret nama Futri Zulya Savitri, anak Menteri Perdagangan RI dan Ketum Partai Amanat Nasional, Zulkifli Hasan.
Dalam sidang mediasi tersebut, para tergugat termasuk Futri yang kini mengubah namanya menjadi Putri Zulkifli Hasan tidak hadir. Hanya penggugat Aziz Anugerah Yudha Prawira dan Binar Imammi yang hadir.
Menurut kuasa hukum penggugat, Yayan Riyanto, kliennya menunggu para tergugat sejak pukul 09.00 WIB hingga 14.00 WIB, namun pihak tergugat tidak datang.
“Karena tidak ada kabar, mediasi akhirnya ditunda dan akan dilanjutkan kembali pada tanggal 21 September 2023, hari Kamis, jam 10.00 WIB,” tukas Yayan dalam keterangannya, dikutip Jumat 25 Agustus 2023.
Yayan menyayangkan ketidakhadiran para tergugat.
“Kalau tidak hadir khan makin tidak jelas penyelesaian perkara ini,” kata Yayan.
Sedari awal, ujar Yayan, Putri Zulkifli Hasan tidak pernah datang menghadiri sidang dan mengutus kuasa hukumnya. Dia pun menyayangkan ketidakhadiran di sidang mediasi tersebut.
“Yang jelas penggugat ingin rumah (yang menjadi obyek sengketa) dikembalikan ke penggugat dan penggugat akan membayar semua utangnya, termasuk bunganya,” tukas Yayan.
Yayan juga menyayangkan tergugat I mengirim orang mendatangi kliennya dan mengintimidasi untuk mencabut perkara.
“Kejadian intimidasi itu tanggal 14 Agustus lalu, orang itu datang ke rumah, tidak ditemui, dan lalu menghubungi lewat WhatsApp dan telepon, yang intinya, meminta perkara untuk tidak diteruskan,” ujar Yayan.
Yayan menjadi kuasa hukum dari para penggugat, yakni Aziz Anugerah Yudha Prawira (penggugat I), Binar Imammi (penggugat II), dan Galuh Safarina Sari Kalmadara (penggugat III). Mereka mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Lie Andry Setyadarma (tergugat I), Gianda Pranata (tergugat II), Futri Zulya Savitri (tergugat III), dan H Syafran (tergugat IV) serta Kepala Kantor ATR/Badan Pertanahan Nasional Jakarta Timur (turut tergugat).
Duduk Perkara
Perkara bermula ketika Yudha membutuhkan pinjaman uang. Ia kemudian berkenalan dengan Gianda Pranata yang bisa mencairkan pinjaman dengan jaminan sertifikat rumah.
Gianda menjanjikan Yudha akan mendapat pinjaman uang Rp5,5 miliar, dengan jaminan sertifikat hak milik Binar Imammi, dengan dikurangi atau dipotong untuk bunga dan lain lain, hingga total potongan Rp1,7 miliar.
Sebagai jaminan utang, Yudha menyerahkan sertifikat hak milik rumah di Jalan Nusa Indah Raya Blok H kavling No. 2,3,4 Kelurahan Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, atas nama Binar Imammi. Sertifikat itu diserahkan kepada H Syafran (tergugat IV).
Pada 28 September 2020, terjadi pertemuan antara para penggugat, tergugat I, tergugat II, dan disepakati perjanjian pinjaman uang dan dibuatkan akta-akta oleh tergugat IV di kantor notaris tergugat IV. Ternyata isinya adalah Akta Pengikatan Jual Beli No.08/2020, Akta Kuasa Untuk Menjual No.09/2020, Akta Perjanjian Pengosongan No.10/2020.
“Pada awalnya para penggugat sempat protes dan bertanya kenapa dibuatkan Akta Pengikatan Jual Beli, bukan perjanjian pinjam uang? Namun dijawab oleh tergugat II bahwa prosedurnya seperti ini, dan ini hanya formalitas saja. Karena dijawab hanya formalitas, kemudian para penggugat percaya dan kemudian penggugat II dan penggugat III menandatangani akta-akta yang dibuat tersebut,” tukas Yayan.
Setelah tanda tangan, tergugat I mentransfer uang ke penggugat III sebesar Rp5,5 miliar, dan langsung dipotong Rp1,7 miliar. Seiring berjalannya waktu, penggugat I hendak memperpanjang pinjaman, tapi tergugat I mengatakan sudah membeli rumah objek sengketa dan bukan pinjaman.
Padahal komunikasi penggugat I dengan tergugat II dan tergugat I, tergugat IV menyatakan bahwa transaksi yang dilakukan adalah pinjaman. Bahkan ketika penggugat I hendak melunasi pinjaman juga dipersulit komunikasinya.
“Sertifikat Hak Milik atas objek sengketa telah dibalik nama dari nama penggugat II menjadi nama tergugat I tanpa adanya pemberitahuan atau peringatan kepada penggugat I atau penggugat II, di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Timur (Turut Tergugat),” ujar Yayan.
Karena tidak ada titik temu, maka pada 10 November 2021, penggugat II membuat Laporan Polisi di Bareskrim Polri, dengan terlapor tergugat I dan kawan kawan.
Dalam perjalanan, objek sengketa diketahui telah beralih kepemilikan dari tergugat I menjadi milik tergugat III. Saat ditanyakan ke para tergugat diketahui bahwa objek sengketa telah menjadi milik tergugat III.
Menurut Yayan, perbuatan para tergugat merugikan kliennya. Sebab apabila objek sengketa dijual, akan menghasilkan uang senilai kurang lebih Rp30 miliar. Karena itu, selain melapor polisi, pihaknya juga mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke pengadilan. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"