KONTEKS.CO.ID – Kremasi air lagi trending. Ya, masyarakat Singapura tengah gandrung menggunakan kremasi air untuk pemakaman hewan kesayangannya.
Penggunaan metode pemakaman kremasi air telah memikat Janice Soh, 41. Dia pun menjadikannya sebagai pilihan terbaik untuk anjing pudel mainannya yang sakit, Toffee.
Hewan peliharaannya, yang lahir pada 2008, dirawat di rumah sakit karena diduga gagal jantung kongestif.
“Saya merasakan kepastian setelah menonton video, dan akhirnya bisa melepaskannya,” katanya kepada The Straits Times, dilansir Senin 12 Juni 2023.
Toffee pun ditidurkan pada 22 April 2023. Upacara peringatannya dihadiri oleh sekitar 20 teman Soh. Lalu keesokan harinya di The Green Mortician dilakukan kremasi air pada anjing tersebut.
Seminggu kemudian, abu Toffee sudah siap. Mereka sekarang menemani Ms Soh kemana-mana di sebuah batu koester, di mana abunya disegel.
Ms Soh, yang membayar Rp8,6 juta untuk layanan tersebut, mengatakan, Toffee selalu menikmati mandinya. Dia juga menginginkan kremasi ramah lingkungan untuk Toffee.
“Seluruh prosesnya lembut, penuh hormat, dan damai, dan itu membantu dalam perjalanan berduka dan penyembuhan sebagai ‘orang tua’,” katanya.
Dia berharap aquamation akan diperluas ke manusia di masa mendatang.
Kremasi Air Teknologi Amerika Serikat
Hal ini juga yang diinginkan pendiri The Green Mortician, penyedia aquamation pertama dan satu-satunya di Singapura sejak Maret 2023.
Yang Loo, 28, dan salah satu pendirinya, Joe Kam, 47, telah melakukan prosedur pada 50 hewan peliharaan di fasilitas seluas 2.000 kaki persegi di Toh Guan Center di Jurong East. Ini termasuk anjing, kucing, burung dan hamster.
Mereka telah membawa sistem aquamation senilai Rp3 miliar dari Amerika Serikat ke Singapura. “Jelas ada peningkatan penerimaan dan permintaan untuk solusi akhir masa pakai tambahan di Singapura, mengingat terbatasnya pilihan yang tersedia di negara kami yang langka lahan,” beber Loo.
Aquamation, secara ilmiah dikenal sebagai hidrolisis alkali, telah tersedia secara luas untuk hewan peliharaan di AS selama beberapa tahun. Beberapa negara dan negara bagian AS juga telah melegalkannya untuk jenazah manusia.
Teknologi ini telah digunakan oleh universitas dan industri ilmiah selama lebih dari 25 tahun. teknologinya telah diadopsi untuk pembuangan akhir tubuh manusia yang disumbangkan ke ilmu kedokteran sejak 1995.
Jenazah mendiang peraih Nobel Perdamaian, Uskup Agung Desmond Tutu, mengalami aquamation. Pahlawan anti-apartheid, yang meninggal pada 2021, mengatakan perubahan iklim adalah salah satu tantangan moral terbesar di zaman kita.
Perbedaaan Krema Air dan Api
Tidak seperti kremasi dengan api atau nyala api, yang menggunakan panas tinggi hingga 1.000 derajat Celcius, aquamasi beroperasi pada suhu rendah di bawah 95 derajat Celcius.
Satu siklus penuh menggunakan 900 liter air untuk kapasitas maksimal 181 kg jasad sekali sehari.
“Jejak karbon adalah sepersepuluh dari kremasi berbasis api, dan tidak ada emisi berbahaya karena tidak ada pembakaran yang terlibat,” ujar Loo.
Dalam sistem baja tahan karat yang bersih, larutan hangat yang terdiri dari 95 persen air dan 5 persen alkali mengalir perlahan ke tubuh hewan selama beberapa jam.
Proses hidrolisis menggunakan air dan basa untuk mereduksi jaringan organik menjadi komponen molekul asam amino dan garam.
Ini mirip dengan dekomposisi, tetapi dipercepat. Ada juga 20-40% lebih banyak abu yang dikembalikan ke keluarga, dibandingkan kremasi api.
“Kami juga membuat fasilitas kami tidak terlalu menyedihkan dan lebih nyaman, seperti langit-langit yang tinggi dan dekorasi yang terinspirasi dari alam,” tambahnya. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"