KONTEKS.CO.ID – Pasukan RSF (Rapid Support Forces) tengah bertempur melawan tentara Sudan dalam perebutan kekuasaan di negara tersebut.
Pasukan RSF dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo -saat ini menjabat sebagai Wakil Kepala Dewan Kedaulatan yang berkuasa di Sudan.
Militer Sudan dan kelompok paramiliter RSF atau Pasukan Dukungan Cepat kini terlibat dalam pertempuran sengit di Ibu Kota Sudan, Khartoum, dan di tempat lain di negara itu. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan perang saudara berkepanjangan.
“Pertempuran, yang dimulai pada Sabtu kemarin, telah menewaskan sedikitnya 56 warga sipil,” kata Persatuan Dokter Sudan dalam sebuah pernyataan.
Aljazeera melaporkan, bentrokan terjadi setelah berbulan-bulan ketegangan yang meningkat antara tentara dan RSF.
Kelompok paramiliter mengatakan telah menguasai Istana Kepresidenan dan Bandara Internasional Khartoum dalam upaya kudeta. Tapi Kepala Militer Sudan, Abdel Fattah al-Burhan, telah menolak klaim tersebut.
Pertanyaannya, apa itu RSF?
Kelompok tersebut berevolusi dari apa yang disebut milisi Janjaweed, yang bertempur dalam konflik pada tahun 2000-an di wilayah Darfur, di mana mereka digunakan oleh Pemerintah Presiden Omar al-Bashir yang telah lama berkuasa untuk membantu tentara menghentikan pemberontakan.
Diperkirakan 2,5 juta orang mengungsi dan 300.000 tewas dalam konflik tersebut.
Jaksa Pengadilan Pidana Internasional menuduh pejabat pemerintah dan komandan milisi melakukan genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Darfur.
Seiring waktu, milisi tumbuh. Mereka dibuat menjadi RSF pada 2013, dan pasukannya digunakan sebagai penjaga perbatasan pada khususnya.
Pada 2015, RSF bersama dengan tentara Sudan mulai mengirim pasukan untuk berperang di Yaman bersama pasukan Saudi dan Emirat.
Pada tahun yang sama, kelompok tersebut diberi status “pasukan reguler”. Pada 2017, undang-undang yang melegitimasi RSF sebagai pasukan keamanan independen disahkan.
Selain wilayah Darfur, RSF dikerahkan ke negara bagian seperti South Kordofan dan Blue Nile, di mana mereka dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam laporan tahun 2015, Human Rights Watch menggambarkan pasukan RFS sebagai “pria tanpa belas kasihan”. Sedangkan analis memperkirakan RSF memiliki sekitar 100.000 pejuang.
Siapa yang Menjalankan RSF?
RSF dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, umumnya dikenal sebagai “Hemedti”, atau “Mohamad Kecil”. Dia saat ini memegang posisi Wakil Kepala Dewan Kedaulatan yang berkuasa di Sudan.
Dagalo lahir dari keluarga miskin yang menetap di Darfur pada 1980-an. Dia putus sekolah di kelas tiga dan mencari nafkah dengan berdagang unta sebelum menjadi pemimpin Janjaweed ketika konflik Darfur pecah.
Ketika RSF menjadi lebih menonjol dan perannya dalam urusan keamanan negara tumbuh, kepentingan bisnis Dagalo menjadi makmur dengan bantuan dari al-Bashir. Keluarganya memperluas kepemilikannya di pertambangan emas, peternakan, dan infrastruktur.
Pada April 2019, RSF berpartisipasi dalam kudeta militer yang menggulingkan al-Bashir setelah berbulan-bulan demonstrasi menentang pemerintahannya selama 30 tahun.
Empat bulan kemudian, militer dan gerakan pro-demokrasi mencapai kesepakatan pembagian kekuasaan, yang membentuk dewan gabungan militer-sipil yang akan memerintah Sudan selama tiga tahun ke depan sampai pemilihan diadakan.
Dagalo diumumkan sebagai wakil ketua dewan yang dipimpin oleh al-Burhan. Lalu ekonom terkemuka Abdalla Hamdok dilantik sebagai Perdana Menteri Sudan dan pemimpin kabinet transisi.
Sebelum menandatangani kesepakatan, para aktivis menuduh RSF ikut serta membunuh puluhan pengunjuk rasa prodemokrasi.
Pada Oktober 2021, RSF terlibat dalam kudeta lain dengan tentara, menghentikan transisi ke pemerintahan yang dipilih secara demokratis. Langkah tersebut memicu demonstrasi massa pro-demokrasi baru di seluruh Sudan yang berlanjut hingga hari ini.
Sumber Ketegangan Antara Tentara dan RSF
Tentara dan kelompok pro-demokrasi menuntut integrasi RSF ke dalam angkatan bersenjata reguler. Adel Abdel Ghafar, seorang rekan di Dewan Timur Tengah, mengatakan RSF, telah menolak integrasi ke dalam tentara, memahami bahwa RSF akan kehilangan kekuatannya.
Negosiasi tentang integrasi menjadi sumber ketegangan yang menunda penandatanganan akhir perjanjian transisi baru, yang semula dijadwalkan pada 1 April.
Dagalo dan al-Burhan dilaporkan tetap berselisih tentang siapa yang akan menjadi panglima militer selama periode integrasi bertahun-tahun. RSF mengatakan komandan harus menjadi kepala negara sipil, situasi yang ditolak tentara. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"