KONTEKS.CO.ID - Keluarnya China secara tiba-tiba dari kebijakan zero-COVID dan kurangnya persiapan atas regulasi tersebut dapat menyebabkan hampir 1 juta kematian di sana.
Dalam sebuah studi baru, negara itu harus bersiap menghadapi gelombang infeksi yang belum pernah terjadi sebelumnya ketika menerapkab zero-COVID. Saat regulasi dikendorkan, China akan menghadapi persebaran virus dari kota-kota terbesarnya ke daerah pedesaannya yang luas.
Selama hampir tiga tahun, Pemerintah China telah menggunakan penguncian yang ketat, karantina terpusat, pengujian massal, dan pelacakan kontak yang ketat untuk mengekang penyebaran virus. Strategi mahal itu ditinggalkan awal bulan ini, menyusul ledakan protes di seluruh negeri terhadap pembatasan ketat yang menjungkirbalikkan bisnis dan kehidupan sehari-hari.
Tetapi para ahli telah memperingatkan bahwa negara itu kurang siap untuk keluar secara drastis. Ini disebabkan China gagal memperkuat tingkat vaksinasi lansia, meningkatkan lonjakan dan kapasitas perawatan intensif di rumah sakit, dan menimbun obat antivirus.
Dalam kondisi saat ini, pembukaan kembali secara nasional dapat mengakibatkan hingga 684 kematian per juta orang, menurut proyeksi tiga profesor di Universitas Hong Kong.
Mengingat populasi China 1,4 miliar orang, itu berarti 964.400 kematian. "Lonjakan infeksi kemungkinan akan membebani banyak sistem kesehatan lokal di seluruh negeri," kata makalah penelitian, yang dirilis pekan lalu di server pracetak Medrxiv dikutip CNN, Senin, 19 Desember 2022.
Pencabutan pembatasan secara bersamaan di semua provinsi akan menyebabkan tuntutan rawat inap 1,5 hingga 2,5 kali lipat dari kapasitas rumah sakit, menurut penelitian tersebut.
Tetapi skenario terburuk ini dapat dihindari jika China dengan cepat meluncurkan suntikan penguat dan obat antivirus.
:Dengan cakupan vaksinasi dosis keempat sebesar 85% dan cakupan antivirus sebesar 60%, jumlah kematian dapat dikurangi sebesar 26% hingga 35%," menurut penelitian tersebut, yang didanai sebagian oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China (CDC) dan Pemerintah Hongkong.
Pada hari Senin, otoritas kesehatan China mengumumkan dua kematian akibat Covid. Keduanya di Beijing, yang tengah bergulat dengan wabah terburuknya sejak dimulainya pandemi.
Mereka adalah kematian pertama yang dilaporkan secara resmi sejak pelonggaran pembatasan secara dramatis pada 7 Desember, meskipun postingan media sosial China menunjukkan lonjakan permintaan di rumah duka dan krematorium Beijing dalam beberapa pekan terakhir.
Seorang karyawan di sebuah rumah duka di pinggiran Beijing mengatakan kepada CNN, mereka dibanjiri oleh antrean panjang untuk kremasi. Pelanggan harus menunggu setidaknya sampai keesokan harinya untuk mengkremasi orang yang mereka cintai.
Di Baidu, mesin pencari online yang dominan di China, pencarian "rumah duka" oleh penduduk Beijing telah mencapai rekor tertinggi sejak pandemi dimulai.
Kota-kota besar lainnya juga menghadapi lonjakan infeksi. Di pusat keuangan Shanghai, sekolah telah memindahkan sebagian besar kelas secara online mulai Senin.
Di selatan Guangzhou, pihak berwenang telah memberi tahu siswa yang sudah mengikuti kelas online dan anak prasekolah untuk tidak mempersiapkan diri untuk kembali ke sekolah.
Di kota besar Chongqing di barat daya, pihak berwenang mengumumkan pada hari Minggu bahwa pekerja sektor publik yang dites positif COVID-19 dapat bekerja "seperti biasa". Ini perubahan haluan yang luar biasa untuk kota yang beberapa minggu lalu berada dalam pergolakan penguncian massal.
Sulit untuk menilai skala sebenarnya dari wabah dengan angka resmi. China berhenti melaporkan kasus tanpa gejala pekan lalu, mengakui tidak mungkin lagi melacak jumlah infeksi yang sebenarnya.
Kasus-kasus tanpa gejala ini dulunya merupakan bagian terbesar dari beban kasus resmi negara. Tetapi jumlah kasus lainnya juga menjadi tidak berarti, karena kota-kota membatalkan pengujian massal dan memungkinkan orang untuk menggunakan tes antigen dan mengisolasi di rumah.
Pakar China telah memperingatkan bahwa yang terburuk belum datang. Wu Zunyou, Kepala Ahli Epidemiologi di CDC China, mengatakan, negara itu sedang dilanda gelombang pertama dari tiga gelombang infeksi yang diperkirakan terjadi pada musim dingin ini. ***