KONTEKS.CO.ID – Saat gelombang panas membuat pening negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Indonesia terpantau santai merespons fenomena alam mematikan ini.
Usut punya usut, ternyata Indonesia memiliki senjata pamungkas yang tak termiliki oleh negara ASEAN lainnya.
Senjata pamungkas apa yang termaksud? Mari simak penjelasannya berikut ini.
Penjelasan Ilmiah Apa Itu Gelombang Panas
Profesor Riset bidang Meteorologi, Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Eddy Hermawan, mengungkapkan, gelombang panas adalah suatu kondisi saat keadaan suhu rata-rata melebihi batas ambang normal selama lebih dari 30 hingga 40 tahun.
Menurut dia, jika suhu pada kawasan tertentu selama dekade lebih dari 30 tahun suhunya berkisar 27 hingga 28 derajat Celsius. Namun di saat itu naik drastis dengan deviasi di atas 5 atau menjadi 33-34 derajat Celsius.
“Kejadiannya pun permanen selama empat hingga lima hari, maka dapat kita definisikan sebagai gelombang panas,” ungkap Eddy, mengutip Rabu 15 Mei 2024.
Dengan demikian, lanjut Eddy, kita wajib memerhatikan durasi dan amplitudo suhu tinggi, serta memerhatikan kondisinya. Kalau hanya sesaat, misalnya hanya satu hari dan nilainya pun tidak melebihi deviasi cukup besar, tentu belum didefinisikan sebagai gelombang panas.
Gelombang Panas: Awan Halangi Sinar Matahari di Indonesia
“Kenapa, kok, Bumi makin panas? Sinar Matahari ketika tiba di Bumi dihalangi oleh awan. Artinya, Matahari ada faktor penghalang itu, maka kalau tidak ada faktor penghalang. Artinya satu kawasan itu tidak dapat penghalang, artinya maka itu bebas, ya, tentu potensinya besar untuk mengalami heatwave atau gelombang panas,” jelasnya.
Menurut Eddy, Indonesia hampir setiap hari ada awan. “Mengapa ada awan, karena memang kawasan kita, kan, unik ya, dua pertiganya laut dan sepertiganya daratan. Dengan lima pulau besar dan 17.548 pulau di mana masing-masing pulau menghasilkan konveksi lokal dan konveksi regional sehingga menghasilkan awan. alhasil kawasan kita Indonesia ini relatif aman dari bahaya gelombang panas,” paparnya.
Kawasan yang terpapar gelombang panas adalah kawasan atau negara yang terdominasi oleh daratan, seperti India, Thailand, dan kawasan-kawasan seperti Afrika atau Brazil.
Eddy menilai, belum terketahui dengan pasti bila puncak panas ini akan segera berakhir. Namun, jika analisisnya berbasis perilaku data Indian Ocean Dipole (IOD) yang ada di Lautan Hindia, maka khususnya untuk kawasan barat Indonesia, dan khususnya kawasan Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa, justru awal terjadinya kondisi panas sudah termulai sejak April lalu. Terus merangkak hingga mencapai puncaknya di sekitar bulan Juli 2024.
Posisi Matahari Tinggalkan Ekuator
Hal ini makin parah dengan mulai berhembusnya angin timuran yang bergerak melintasi kawasan Indonesia seiring bergeraknya posisi Matahari meninggalkan garis ekuator sejak 21 Maret, bergerak semu menuju belahan Bumi utara (BBU).
“Jadi, ada indikasi kuat jika kondisi panas ini akan terus berlanjut. Selain kondisi uap air di kawasan barat Indonesia yang tertarik ke arah timur pantai timur Afrika, juga angin timuran yang berasal dari gurun di bagian utara Australia sudah mulai merangkak memasuki kawasan Indonesia,” terangnya.
“Gerbang utama yang akan menerima kondisi ini adalah kawasan NTT, diikuti NTB, Bali, Jawa Timur, dan seterusnya,” kata Eddy.
Lebih lanjut Eddy menyampaikan, pihaknya mengamati bahwa di siang hari memang terik sekali. Tapi pada malam dan dini hari, ada indikasi kuat menghasilkan hujan.
Jadi semakin terik suhunya, umumnya akan diikuti hujan di malam harinya. Walaupun sifat hujannya tidak sebesar pada umumnya saat musim penghujan. Ini adalah indikasi yang biasa terjadi akhir musim transisi pertama (MAM).
Eddy menyarankan masyarakat yang tengah mengalami cuaca atau hawa panas agar memberikan asupan air yang cukup bagi tubuh. Kedua, hindari minum air dingin karena perubahan suhu yang drastis akan mengganggu kesehatan.
Ketiga, untuk daerah atau sentra pangan debit air mungkin akan berkurang, tetapi tidak akan permanen. Keempat, usahakan jangan berhadapan langsung dengan Matahari, artinya jangan menatapnya siang hari bolong, karena sinar UV sangat kuat sekali.
“Tidak perlu panik, tetap melindungi diri dari cahaya matahari yang menyengat,” saran Eddy. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"