KONTEKS.CO.ID - Aktivis demokrasi Ray Rangkuti menegaskan bahwa proses pemakzulan terhadap wakil presiden tidak harus dilakukan secara bersamaan dengan presiden.
Hal ini disampaikan dalam menanggapi pernyataan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang sebelumnya menyebut jabatan presiden dan wakil presiden adalah "satu paket".
“Jelas tidak satu paket. Pasal 7A UUD 1945 menyebutkan secara eksplisit presiden dan/atau wakil presiden. Artinya bisa salah satu, tidak harus keduanya,” ujar Ray saat menjadi pembicara dalam diskusi publik bertajuk "Menuju Pemakzulan Gibran: Sampai Kemana DPR Melangkah?" yang digelar Formappi di Jalan Matraman Raya, Jakarta Pusat, Rabu, 18 Juni 2025.
Baca Juga: Laporkan Budi Arie Terkait Fitnah Judi Online, Kader PDIP Dicecar 29 Pertanyaan di Bareskrim
Sejarah Buktikan Pemakzulan Bisa Terpisah
Ray yang juga menjabat sebagai Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) mencontohkan sejumlah peristiwa dalam sejarah politik Indonesia yang membuktikan bahwa jabatan presiden dan wakil presiden bisa berakhir secara terpisah.
“Mohammad Hatta pernah mundur dari jabatan wakil presiden, tapi Soekarno tetap menjabat. Kalau satu paket, maka Soekarno juga harus mundur,” katanya.
Contoh lainnya adalah pengunduran diri Presiden Soeharto, yang kemudian digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibie, serta pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang membuat Megawati Soekarnoputri naik menjadi presiden.
Baca Juga: Cemburu! Pemuda di Jambi Dibunuh Kekasih Sesama Jenis, Kopi Sianida Jadi Senjata Maut
“Pencalonannya memang satu paket, tapi pemakzulannya bisa sendiri-sendiri. Jadi jelas ini bukan soal satu paket,” kata Ray.
Sindiran Tajam untuk Jokowi
Ray juga mempertanyakan maksud dari pernyataan Jokowi yang menilai jabatan presiden dan wakil presiden tidak bisa dipisahkan.
Terlebih jika dikaitkan dengan upaya pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang tak lain adalah putra sulung Jokowi.