KONTEKS.CO.ID – Kisah Tim Hantu Argentina berawal dari Kualifikasi Piala Dunia 1970 zona Amerika Selatan (CONMEBOL). Kala itu Argentina tergabung di Grup 1 bersama Peru dan Bolivia.
La Albiceleste – julukan Timnas Argentina – waktu itu gagal meloloskan diri dari Grup 1. Mereka bahkan jadi juru kunci, cuma mengemas sekali menang, sekali imbang, dan menelan dua kekalahan.
Salah satu kekalahan itu ditelan Tim Nasional Argentina dari Bolivia dengan skor 1-3, dalam pertandingan matchday 1 yang digelar di La Paz, Bolivia, 27 Juli 1969.
Argentina menelan kekalahan saat berhadapan dengan tuan rumah Peru. Mereka takluk dengan skor 0-1 dalam bentrok di Lima, 3 Agustus 1969.
Bila di matchday terakhir Grup 1 Argentina mengalahkan Peru di Buenos Aires (skor akhirnya 2-2), sejatinya Tim Tango ini bisa lolos ke Meksiko 1970 . Namun akhirnya Peru yang mewakili Grup 1.
Argentina belajar dari kegagalan mereka tersebut kala melakoni Kualifikasi Piala Dunia 1974. Kali ini mereka tergabung bersama Bolivia dan Paraguay di Grup 2.
Fokus Argentina jelas, bagaimana caranya agar tidak mengalami nasib serupa di babak kualifikasi sebelumnya, dan lolos ke Jerman 1974.
Strateginya tentu saja adalah bisa mencuri poin di kandang lawan – tidak seperti di babak kualifikasi sebelumnya kalah dari tuan rumah Peru dan Bolivia.
Membentuk Tim Hantu Argentina
Laga tandang Argentina melawan Bolivia di Stadion Hernando Siles terbilang unik. Pasalnya, pertandingan berlangsung di La Paz, ibu kota Bolivia yang berada di ketinggian 3.500 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Stadion di La Paz populer dengan kondisi oksigen yang tipis. Banyak tim yang kesulitan melawan Bolivia jika bertanding di La Paz.
Di babak kualifikasi sebelumnya, tidak hanya Argentina yang pulang dengan kekalahan. Peru juga menderita kekalahan 1-2 oleh Bolivia di La Paz.
Bermain di atas ketinggian dengan oksigen yang tipis tentu menjadi ancaman yang serius bagi Tim asuhan Enrique Omar Sivori saat itu.
Apalagi, jika Argentina gagal lolos ke putaran final Piala Dunia 1974, taruhannya adalah mereka akan kehilangan kesempatan menjadi tuan rumah Piala Dunia 1978. Di sisi lain, Brasil mencalonkan diri sebagai tuan rumah alternatif.
Guna menyiasati keunikan ini, AFA meminta tim menjalankan sebuah taktik khusus. AFA membuat skenario dengan membagi dua tim untuk menjalani misi sulit lolos ke Piala Dunia 1974.
Tim utama Argentina di bawah pelatih Enrique Omar Sivori menjalani latihan di Spanyol sebelum menghadapi Bolivia. Sementara tim kedua Argentina dengan pelatih Miguel Ignomiriello bersama pemain muda diam-diam berangkat ke Tilcara. Tim ini beradaptasi dengan kondisi alam Bolivia.
Dari Hotel Kumuh Hingga Tanpa Uang
Argentina memilih Tilcara, sebuah kota kecil di Provinsi Jujuy, karena berada di ketinggian 2.465 mdpl. Idenya adalah untuk menyesuaikan diri dengan iklim Bolivia.
Tim A bakal menjalani tiga pertandingan di permukaan laut: dua pertandingan kandang di Buenos Aires dan pertandingan tandang melawan Paraguay di Asuncion. Sedangkan Tim B khusus untuk laga tandang ke La Paz, di mana sudah 20 tahun La Seleccion tidak pernah menang di sana.
Dalam biografi Mario Kempes, legenda Timnas Argentina itu menuliskan berbagai masalah serta rintangan yang harus mereka hadapi saat di Tilcara.
“AFA sepertinya telah melupakan ini, menempatkan kami di hotel yang kumuh tanpa persediaan makanan yang layak. Kami tak punya uang. Fakta itu membuat kami harus menjalani enam hingga tujuh kali uji coba, meski jadwal kami hanya menjalani dua pertandingan persahabatan di sana. Semuanya terpaksa kami lakukan untuk mendapatkan uang, agar kami dapat membeli makanan di supermarket,” kata Kempes.
45 hari, 15 pertandingan, 14 kemenangan, 1 seri, dan meraup beberapa dolar. Kecuali Aldo Poy, semua pemain yang berpartisipasi dalam petualangan di Tilcara adalah pemain muda dan relatif tidak dikenal.
Rintangan lain dari persiapan khusus ini adalah pelaksanaannya selama musim reguler. Di musim reguler, tim-tim besar tidak akan pernah melepaskan bintangnya selama lebih dari sebulan.
Namun di antara anak-anak muda tersebut, nantinya muncul menjadi legenda Timnas Argentina dan juara dunia, seperti Ubaldo Pato Fillol, Ricardo El Bocha Bochini atau Mario ‘El Matador’ Kempes, sementara yang lain tidak pernah lagi mengenakan seragam Timnas.
Naik Bus ke Tilcara
Pada 19 Agustus 1973, Tim Hantu terbang terlebih dahulu ke Salvador de Jujuy sebelum melanjutkan perjalanan dengan bus ke Tilcara.
Tilcara adalah desa berpenduduk sekitar 5.600 jiwa yang terletak di ketinggian 2.465 mdpl. Awalnya, idenya adalah untuk membentuk tim di La Quiaca (3.442 mdpl), tetapi satu-satunya hotel di kota itu sedang direnovasi.
Pada saat yang sama, Tim A terbang ke Spanyol untuk kamp pelatihan di mana mereka akan menghadapi Atletico Madrid dan FC Malaga.
Perbedaan yang sangat kontras antara kedua tim: Saat Tim A melancong ke Spanyol bersama pelatih Enreque Omar Sivori dan beberapa manajer menikmati waktu yang menyenangkan dengan ham dan anggur Serrano, Tim B di Tilcara seolah terlupakan.
Ironisnya lagi, rombongan yang berangkat ke pegunungan mendapat informasi mereka bukan merupakan seleksi nasional. Mereka hanya tahu bahwa seleksi sebenarnya ada di Spanyol.
Karena tidak ada seorang pun di dalam federasi yang dapat memberikan berita tentang Tim B kepada jurnalis Jose Maria Otero, jurnalis tersebut menamakannya “Equipo Fantasma” (Tim Hantu) atau La Seleccion Fantasma.
Perlengkapan Tim Telat
Kondisi Tim B di Tilcara sangat menyedihkan. Tim baru menerima perlengkapannya tiga hari sebelum pemberangkatan setelah mendapat tekanan dari Ignomiriello. Tidak ada pemimpin AFA yang ingin bepergian ke provinsi tersebut.
AFA menghubungi tujuh orang yang semuanya memberikan alasan, hingga akhirnya teman Ignomiriello yang mendampingi tim. Namun ada hal positif yang terbentuk, kebencian terhadap federasi menyatukan para pemain.
Lebih dari yang lain, Mario Kempes bertekad akan menghancurkan AFA karena buruknya kondisi penginapan. “Itu adalah ‘hotel sialan’ dan sedikit makanannya, sangat buruk. Anda bisa melempar tumbukan hotel ke langit-langit, tidak akan jatuh, dagingnya sekeras batu,” sebut Kempes.
Bahkan tidak ada telepon untuk berkomunikasi dengan federasi atau keluarga. Bahkan suatu hari dia tidak punya uang untuk membayar akomodasi.
Bek Ruben Hueso Glaria menggambarkan kondisi tersebut dalam istilah yang lebih radikal sebagai “gulag“. Sedangkan Reinaldo Mostaza Merlo meninggalkan kamarnya hanya setelah beberapa hari, karena tidak dapat mengatasi kondisi tersebut.
“AFA melupakan kami dan kami sangat menderita. Kami bahkan tidak punya makanan. Dua pertandingan persahabatan direncanakan, namun pada akhirnya kami memainkan tujuh pertandingan, untuk mendapatkan uang. Dengan uang ini, kami membeli apa yang kami butuhkan di supermarket dan salah satu dari kami menyiapkan makanan. Saya turun berat badan delapan kilogram,” urai Mario Kempes.
Latihan Berlanjut ke Peru
Tim B kemudian mencapai Cuzco (3.416 mdpl), Peru. Di sana, mereka memainkan beberapa pertandingan persahabatan, termasukmelawan tim lokal, Cienciano. Argentina menang 1-0.
Alih-alih menerima bonus 5.000 peso sesuai kesepakatan, pihak Peru hanya membayar 3.500 peso kepada Argentina. Terlebih lagi, pada hari pertandingan terjadi pemogokan umum. Akibatnya, semua juru masak hotel meninggalkan pekerjaan mereka.
Tetapi ketika para pemain pergi ke pasar sendiri, semua dagingnya berserakan dan sangat menjijikkan hingga mereka kehilangan rasa lapar.
Tim kemudian turun ke Arequipa (2335 mdpl), untuk bermain melawan juara FBC Melgar, yang juga mereka kalahkan 1-0. Namun perjalanan tersebut lebih merupakan perjalanan backpacker dibandingkan pemain sepak bola profesional.
Secara umum, perjalanan terasa lebih seperti penyiksaan. Seringkali pemain menghabiskan lima jam duduk di bangku kayu di kereta atau bus, yang melintasi Pegunungan Andes. Tetapi setidaknya di Arequipa tim merasakan iklim yang menyenangkan. Pun, kali ini 5.000 Peso yang disepakati mereka terima.
Ketika tim berada di Arequipa, seorang manajer menelepon Ignomiriello dan memberitahunya bahwa dia tidak boleh lagi menyelenggarakan pertandingan demi uang.
Ignomiriello lantas menjawab bahwa mereka tidak akan punya apa-apa untuk dimakan jika mereka tidak memainkan pertandingan ini.
Pemimpin AFA berjanji akan mengirim pesawat dengan membawa keperluan tim. Ignomirielo kemudian menjawab dengan nada mengejek: “Sampai sekarang Anda bahkan tidak bisa mengirimi kami ham, dan sekarang Anda ingin mengirimi kami pesawat? Tim akan terus bermain.”
Tiba di Bolivia
Setibanya di La Paz, tim melakukan latih tanding melawan Independiente Unificada de Potosi pada ketinggian 3.900 m.
Markas besar Fiat setempat mengetahui pertandingan tersebut. Mereka ingin menggunakan para pemain Argentina dalam kampanye iklan mereka melawan Volkswagen. Sebab, baru-baru ini Volkswagen membuka cabang pertamanya di negara tersebut.
Pihak Fiat meminta orang-orang Argentina itu melakukan perjalanan 500 km ke Potosi dengan mobil. Tim menggunakan lima unit Fiat yang karburatornya telah dilepas agar tidak gagal naik di ketinggian.
Di babak pertama pertandingan, Argentina tertinggal 0-1. Ignomiriello dengan tegas melarang para pemain untuk kalah. Sebab jika kalah, kejadian ini pasti akan menjadi berita di semua surat kabar dan akan terlihat buruk di mata pelatih Timnas Argentina Omar Sivori.
Para pemain memulai babak kedua dengan gugup. Ignomiriello mengeluarkan dua pemain dari lapangan karena melakukan penghinaan setelah menanggapi provokasi. Meski begitu, Argentina menang 3-1.
Namun kemarahan masyarakat setempat begitu memuncak. Masyarakat lalu melempari mobil Fiat tersebut sehingga mengalami kerusakan parah. Sampai-sampai petinggi Fiat geram dan Tim B menerima bayaran kurang dari rencana awal.
Beda Rencana, Beda Realisasi
Pada 23 September 1973, Argentina duel dengan Bolivia dalam pertandingan penentuan di Stadion Hernando Siles. Pelatih Tim A, Omar Sivori, tiba pada malam sebelum pertandingan.
Semua orang terkejut ketika Omar melakukan hal berbeda dari rencana awal. Ia memilih lima pemain dari Tim A yang telah melakukan pekerjaan pendahuluan dan memenangkan pertandingan kandang melawan Bolivia (4-0) dan bermain imbang 1-1 di Paraguay.
Sekalipun para pemain Tim B merasa dikhianati setelah semua yang mereka lalui, dari sudut pandang olahraga, perubahan tersebut dapat dimengerti.
Adalah Oscar Fornari yang mencetak gol 1-0 pada menit ke-18, gol semata wayang yang membawa pulang kemenangan ke Argentina.
Dengan kemenangan tersebut, Argentina kemudian menginjakkan satu kakinya di Jerman. Namun kemenangan heroik tersebut tidak serta merta menarik perhatian. Sebab di hari yang sama, Juan Domingo Peron terpilih menjadi presiden Argentina untuk ketiga kalinya.
Sepekan kemudian, Kualifikasi Piala Dunia 1974 Zona CONMEBOL Grup 2 ditutup dengan kemenangan Argentina 3-1 melawan Paraguay.
Epilog
Jelas tidak mungkin mengatakan bahwa pemusatan latihan di Tilcara dan Peru benar-benar menjadi penentu kemenangan Argentina atas Bolivia di La Paz dan penentu kelolosan ke Piala Dunia 1974.
Karena faktanya, Bolivia saat itu merupakan tim yang relatif lemah. Paraguay tanpa pemusatan latihan tertentu pun menang di La Paz.
Tapi bagaimanapun juga, Timnas Argentina sudah merasa siap. Ruben Hueso Glaria berkata, “Kami bermain dari ketinggian 2.000 m hingga 4.200 m, tetapi kami menemui begitu banyak masalah sehingga masalah ketinggian sangat minim. Pada akhirnya, kami semua menjadi pengusaha sejati, karena ketika menegosiasikan bonus pertandingan, kami semua memikirkan berapa banyak uang yang kami butuhkan untuk hotel dan makanan.”
Sejak itu, FIFA melarang pertandingan kualifikasi di atas ketinggian 3.000 m, namun La Paz telah mendapat izin. Dan tidak jarang melihat Bolivia meraih kemenangan mengejutkan melawan tim-tim yang dianggap lebih unggul dari mereka.
Foto Legendaris
Terlepas dari penderitaan selama melakoni latihan di Tilcara, dan Peru, pada Piala Dunia 1974, Timnas Argentina terhenti di babak kedua. Tapi di Piala Dunia 1978, mereka jadi juara dunia untuk pertama kalinya dengan Mario Kempes jadi salah satu bintangnya.
Pun ada satu oleh-oleh abadi dari perjalanan latihan di Tilcara dan Peru. Seorang jurnalis bernama Miguel Tapio mendapatkan ide cemerlang bersama dengan fotografer Lucio Flores.
Mereka mengambil gambar Tim B Argentina dengan menggunakan topi putih yang kemudian menggemparkan dunia jurnalisme dan juga opini publik. Itu merupakan penegasan mengapa mereka mendapat julukan Tim Hantu.
Para hantu: Ubaldo Fillol, Jorge Tripicchio, Ruben Glaria, Osvaldo Cortes, Nestor Chirdo, Daniel Tagliani, Jorge Troncoso, Reinaldo Merlo, Ruben Galvan, Marcelo Trobbiani, Ricardo Bochini, Oscar Fornari, Mario Kempes, Aldo Poy, Juan Jose Lopez dan Juan Rocha.***
Sumber dan foto: Documental La Seleccion Fantasma, el equipo olvidado, de Federico Vazza. Libro El Matador, de Mario Alberto Kempes. Libro El Pato, de Ubaldo Matildo Fillol. Revista El Grafico.
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"