Nasional

Ungkap Kasus Big Fish Kejagung Dipuji, KPK Dinilai Belum Bernyali

JAJAK PENDAPAT

Siapa pilihan Capres 2024 kamu?

KONTEKS.CO.ID – Pimpinan KPK periode Firli Bahuri akan berakhir tahun ini. Namun hingga kini publik menilai belum ada kasus besar atau big fish yang belum diungkap.

Sorotan tajam disampaikan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). MAKI prihatin dengan kinerja KPK saat ini.

“Ini memang suatu keprihatinan kita, saya berharap perlu didorong, KPK perlu di depanlah,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman dalam keterangannya, Senin 26 Maret 2023.

Boyamin membandingkan kinerja KPK dengan Kejagung. Boyamin berpandangan ketidakmampuan KPK mengungkap kasus-kasus besar seperti yang dilakukan Kejagung karena pola kerja yang dijalankan KPK selama ini.

Ia menjelaskan KPK hanya fokus pada operasi tangkap tangan (OTT) yang menerapkan Pasal 5 tentang suap, Pasal 11 tentang Gratifikasi serta Pasal 12 tentang Penerimaan Hadiah dan Pemerasan.

Dari OTT itu, katanya, KPK melakukan pengembangan kasus jika pengembangan kasus yang dilakukan KPK selalu berasal dari OTT maka akan terbiasa dimudahkan dalam proses hukum.

Berbeda dengan Kejagun. Lanjut dia, dalam lembaga Adhyaksa itu selalu berkontribusi atau berkutat pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi dan segala perubahannya.

BACA JUGA:   Tata Kelola Biaya Haji Rugikan Negara Rp160 Miliar, Firli Diminta Turun Tangan

Pada Pasal 2, katanya, tentang perbuatan melawan hukum Pasal 3 adalah perbuatan penyalahgunaan wewenang.

“Kalau Pasal 2 dan Pasal 3 adalah mencari bukti dan menemukan bukti. Kenapa? Karena korupsinya sudah terjadi, bisa jadi lima tahun yang lalu, 12 tahun yang lalu, atau setahun yang lalu sudah peristiwanya terjadi dan harus menemukan dan mencari alat bukti,” katanya.

Dengan pencarian alat bukti ini, otomatis ketika Kejagung fokus dan konsentrasi di situ, maka lama-lama akan menemukan “ikan besar” (kasus besar).

Itu terbukti dimulai dari tahun 2018 dalam kasus Jiwasraya yang dilaporkan MAKI. Dari kasus tersebut, lanjut dia, dirumuskan sampai 2019-2020 yang kemudian rentetannya menjadi kasus ASABRI.

Tidak hanya itu. MAKI merupakan salah satu yang melaporkan ke Kejagung kasus langka dan mahalnya minyak goreng waktu itu akibat ekspor CPO, termasuk kasus impor tekstil di Batam, dan kasus Satelit Kemenhan.

“Kemudian beberapa kasus lain besar-besar yang termasuk kasus perkebunan Surya Darmadi yang dirumuskan kerugiannya sampai sangat tinggi di atas Rp50 triliun,” kata Boyamin.

Hal inilah yang membuat Kejagung mampu mengungkap kasus-kasus megakorupsi dengan pola kerja berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 yaitu mencari dan menemukan alat bukti.

BACA JUGA:   Bharada E Divonis Lebih Rendah dari Tuntutan Jaksa, Apakah Kejagung Akan Banding?

Perbedaan pola kerja ini, kata Boyamin, akan menjadi perbedaan sepanjang kedua kubu ini tetap bermain di kutub masing-masing.

KPK hanya fokus OTT dan hanya berkutat di Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 12. “Istilahnya gini, kalau KPK itu dalam konteks ini adalah OTT tidak membangun kasus, sementara Kejagung membangun kasus. Istilahnya ‘case building‘,” paparnya.

Namun KPK bukan berarti tidak berupaya membangun kasus.

Boyamin melihat beberapa upaya dilakukan KPK, misalnya kasus terakhir adalah bansos terkait dengan PT BGR Logistik Indonesia yang salah satunya eks Dirut Transjakarta diproses dan dicekal karena hasil pengembangan dari OTT kasusnya Juliari Batubara (mantan Mensos).

“Jadi kalau KPK itu menggunakan Pasal 2 atau Pasal 3, itu adalah pengembangan dari OTT,” paparnya.

Boyamin mencatat KPK pernah mengembangkan kasus KTP-el pada tahun 2012 dan diproses tahun 2014-2015 yang dianggap sebagai prestasi mengungkap kasus besar.

Tetapi dari pola kerja saat ini, menurut Boyamin, KPK tampak seperti tidak berusaha menyentuh Pasal 2 dan Pasal 3 sehingga yang diproses adalah kasus-kasus yang berdasarkan OTT. Oleh karena itu tidak akan pernah menemukan kasus besar.

BACA JUGA:   Suap Hakim Yustisial Rp3,7 Miliar, Wahyudi Hardi Resmi Ditahan KPK

“Karena OTT tidak, kalau bisa yang dikembangkan ya dikembangkan (kasus) kecil-kecil lagi aja dan itu yang susah memang,” kata Boyamin.

Sementara itu, kenapa Kejagung bisa mengungkap kasus-kasus besar karena berkonsentrasi di Pasal 2 dan Pasal 3 yang otomatis banyak kasus-kasus besar mengantre untuk diungkap.

Menurut Boyamin, keberhasilan Kejagung tidak hanya mengungkap kasus-kasus besar tapi mampu merumuskan kasus terkait tentang kerugian perekonomian negara.

Hal itu, paparnya, dimulai dari kasus impor tekstil di Batam yang terungkap terjadi kerugian perekonomian negara, termasuk kasus Surya Darmadi, impor minyak goreng.

“Jadi Kejagung itu bukan hanya kasus besar tapi sudah melompat lagi tentang merumuskan kerugian perekonomian negara, sementara KPK masih berkutat kerugian keuangan negara dan itu kemudian hanya berdasarkan OTT dan temuan BPK misalnya,” kata Boyamin. ***



Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"

Author

Berita Lainnya

Muat lagi Loading...Tidak ada lagi