KONTEKS.CO.ID – Pakar Politik Universitas Airlangga (Unair) Haryadi menilai soal potongan video dan kalimat pidato Megawati Soekarnoputri dalam HUT ke-50 PDIP di media sosial.
Menurut Haryadi potongan video dan kalimat pidato Megawati itu cenderung mengarah upaya pembenturan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kata Haryadi, semua potongan video dan kalimat pidato Megawati itu dilakukan melalui narasi di media massa partisan.
“Seakan PDI Perjuangan pamer kuasa di hadapan Presiden Jokowi,” ujar Haryadi dalam keterangannya, dikutip Minggu 15 Januari 2023.
“Bahkan beberapa pengamat di media partisan itu menyatakan, bahwa Presiden Jokowi merupakan subordinat PDI Perjuangan,” imbuhnya.
Haryadi menilai, hal itu terjadi lantaran ada yang mengambil kemanfaatan pidato Megawati untuk falsifikasi makna politik.
Sejumlah potongan video dan kalimat di media sosial atau media massa mencerminkan manipulasi politik dipandang sebagai sarana pengaruh ideologis.
Kemudian, sebagai sarana spiritual dan psikologis pada kesadaran massa untuk memaksakan ide dan nilai tertentu.
Lalu, kata Haryani, sebagai pengaruh yang disengaja pada opini publik dan perilaku politik untuk mengarahkan mereka dengan cara tertentu.
Haryadi mengatakan, cara yang dilakukan Megawati merupakan pesan kekeluargaan yang akrab, seperti layaknya Ibu kepada anak-anaknya.
Dalam prosesi perayaan HUT itu, lanjut Haryadi, justru dibelokkan maknanya sebagai subordinasi PDIP terhadap Jokowi.
Padahal, kata Haryadi, acara itu dimaksudkan sebagai perayaan di dalam keluarga besar dan masyarakat biasa. Sebab, didisain merupakan acara internal partai.
Dalam acara itu, yang paling banyak diundang hadir adalah level akar rumput yaitu pengurus ranting partai dan Satgas Cakra Buana.
Lantaran itu, pimpinan partai politik lain yang merupakan level elite memang tak diundang.
Bahkan level menteri di kabinet Presiden Joko Widodo tak semuanya diundang.
“Laiknya dalam keluarga, bisa lebih terbuka dalam berbicara. Pesan sebagai keluarga besar adalah ciri khas Bu Mega untuk membangun internal political market dan militansi para kader,” ujar dia.
Menurut Haryadi, PDIP termasuk salah satu partai yang dengan political ID atau identitas politik yang paling kuat.
“Itu berkat kekuatan mesin politik internal yang dibangun Bu Mega selama bertahun-tahun,” ujar Haryadi.
Haryadi berujar, cara berpolitik tersebut terbukti membuahkan hasil.
Haryadi lantas menjelaskan faktor yang membuat PDIP berhasil di Pemilu 1999. Selanjutnya, Pemilu 2004 dan 2009, PDIP gagal bahkan terlempar keluar dari kekuasaan.
Kemudian, pada Pemilu 2014 dan 2019, PDIP merebut kembali kekuasaan.
Kemenangan Pileg dan sekaligus Pilpres pada tahun 2014 dan 2019 itu, merupakan rekor baru dalam politik kepemiluan di Indonesia.
Faktor penentu kemenangan dua kali berturutan itu adalah karena PDIP beruntung memiliki dua figur role model sekaligus, yaitu Megawati dan Jokowi.
“Kekuatan dua figur ini menjadi perekat identitas partai yang begitu kuat. Sekaligus menjadi penentu kemenangan PDI Perjuangan secara berturutan,” ungkapnya.
“Betapa pun potensi kekuatannya secara kelembagaan diperlemah oleh pemberlakuan sistem Pemilu proporsional terbuka,” kata Haryadi.
Dikatakan Haryadi, jika ditelaah lebih dalam, hal itu merupakan bukti yang menguatkan betapa penting posisi Jokowi dalam point of view Megawati selaku Ketua Umum PDIP, tanpa melupakan kejelian Mega sebagai leader maker dan jiwanya sebagai seorang negarawan.
Haryadi berpandangan, hal itu terbukti dalam isi pidato Megawati di HUT lalu.
Menurut penilaian Haryadi, Mega menempatkan Jokowi di tempat tertinggi partai dalam kesatuan gerak dalam memikirkan dan memperjuangkan nasib rakyat.
Tak ada subordinasi. Dan sama seperti tubuh, kepala tak lebih penting dari tangan atau kuku sekalipun,” ujarnya.
“Tak ada keindahan organ tubuh, jika hanya ada kepala tanpa tangan dan kuku,” imbuhnya.
Megawati, tambahnya, jelas ingin mengatakan bahwa akar rumput partai dan masyarakat sama pentingnya dengan dirinya maupun dengan Jokowi dalam kesatuan tubuh bernama Indonesia.
“Maka bijak memaknai agar kepentingan yang terbungkus dalam falsifikasi pemaknaan dalam komunikasi politik tidak mendapatkan tempat dalam upaya memecah PDI Perjuangan dan Presiden Jokowi,” tuturnya.
Terakhir, Haryadi menyarankan agar semua pihak meletakkan tiap kalimat dalam konteksnya.
“Jangan memenggal tanpa konteks. Kecuali pemenggalan itu sengaja dilakukan untuk motif dan kepentingan politik nakal,” pungkasnya.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"