KONTEKS.CO.ID — Keppres no 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu dinilai memiliki banyak kontradiksi dan bertentangan dengan penegakan Hak Azazi Manusia. Komitmen Presiden Jokowi dalam keberpihakan pengusutan HAM dipertanyakan.
“Ironisnya Keppres no 17/2022 ini tidak menimbulkan kepastian hukum karena tidak menyinggung penyelesaian hukum. Malah rentan dalam penanganan kejahatan berat HAM masa lalu,” ungkap Bona Sigalingging pemerhati HAM dan juga aktivis ‘98, dalam FGD “Menyikapi Kinerja Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Keppres nomor 17/2022)”.
Fungsionaris Barikade ’98 Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Papua Maulana Muhammad mengatakan masih banyak pelanggaran HAM tanah Cendrawasih dan selama ini belum ada penanganan serius dari negara, seperti halnya Keppres nomor 17/2022.
“Contoh kasus Paniai dimana cuma ada satu orang yang diajukan ke pengadilan HAM, padahal pelakunya diduga ada banyak,” katanya.
Bona menambahkan, Keppres tersebut tak memberikan upaya nyata penanganan persoalan HAM.
Keputusan Presiden ini, katanya, menyitir istilah Stanley Cohen merupakan state-organized denial, atau pengingkaran terorganisir dari negara atas kejahatan HAM yang dilakukan negara pada masa lalu.
Sumarsih, orangtua dari korban tewas peristiwa Semanggi I, Wawan, mengomentari pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) Berat Masa Lalu, yang dinilai tak memiliki informasi lengkap. “Dan ada anggota tim yang terlibat dalam pelanggaran HAM,” ucapnya.
Apalagi, sejumlah pihak menduga tim ini merupakan sarana ‘cuci dosa’ dan memperkuat impunitas para pelaku pelanggaran HAM.
Ditambah masa kerja tim yang singkat, sehingga efektivitas dan keoptimalan kinerjanya dipertanyakan. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"