KONTEKS.CO.ID – Jemaah haji dari seluruh dunia, termasuk Indonesia, sedang bersiap memasuki puncak haji 2024. Rangkaian ibadah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina ini berlangsung pada 15-16 Juni 2024.
Rangkaian ibadah haji terdiri dari Ihram, Wukuf di Padang Arafah, Tawaf, Sa’i, kemudian Tahalul atau mencukur rambut.
Setelah melaksanakan rangkaian ibadah haji, terutama wukuf di Padang Arafah, para jamaah resmi menjadi Haji atau Hajjah.
Menariknya, gelar Haji ini hanya populer dan akrab di Indonesia. Pemberian gelar Haji ini memang tergolong unik karena hanya ada di tanah air. Bahkan seiring perkembangan zaman, gelar haji kerap menjadi penanda kelas sosial-ekonomi seseorang di masyarakat.
Sejatinya, gelar Haji berbeda dengan julukan ulama yang merupakan bentuk jamak dari kata alim atau orang yang berilmu. Namun dalam perkembangannya masyarakat menginterpretasi ulama sebagai orang yang ahli dan alim dalam syariat Islam. Pun, menjadi panutan di tengah masyarakat.
Di Indonesia, ulama ini mempunyai sebutan berbeda di setiap daerah. Misalnya, Kiai di Jawa, Ajengan Sunda, Tengku atau Teungku Aceh, Syech di Sumatera Utara atau Tapanuli, Buya di Minangkabau, Tuan Guru di Nusa Tenggara dan Kalimantan.
Paspor, Uang, Ujian, dan Gelar Haji
Terkait gelar Haji, ahli ilmu linguistik Arab lulusan Kairo, Mesir, Ustaz Miftah el-Banjary menjelaskan, panggilan haji di tanah air mulai muncul sejak zaman kolonial Belanda.
Secara politis, ibadah haji di zaman kolonial memiliki kekuatan yang bisa menjadi gerakan politik. Penjajah Belanda sangat memperhitungkan dampak politik dari ibadah haji. Sebab, mereka yang pulang dari ibadah haji dianggap sebagai orang suci di Jawa. Itu sebabnya omongan para haji lebih didengar oleh penduduk awam.
Aqib Suminto dalam “Politik Islam Hindia Belanda” (1986) menyebut, pikiran seperti ini pertama muncul di era Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 1810.
Pencetus Jalan Raya Anyer-Panarukan itu menuding penduduk pribumi yang pulang ibadah haji kerap menghasut rakyat untuk memberontak. Alhasil, Daendels meminta para jamaah itu untuk mengurus paspor haji sebagai penanda.
Pemikiran serupa munculkan lagi saat Inggris menjajah tanah air. Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles dalam catatan berjudul “History of Java” (1817) bahkan terang-terangan “menyerang” orang pergi haji.
Katanya, orang Jawa yang pergi haji itu sok suci. Sebab dengan kesuciannya, mereka bisa menghasut rakyat dan menjadi ujung tombak perlawanan di kalangan kelompok masyarakat.
Dien Madjid dalam “Berhaji di Masa Kolonial” (2008) menulis, kebijakan politis haji baru berlaku secara menyeluruh pada 1859 lewat aturan khusus. Aturan ini mengatur secara jelas mekanisme penerimaan orang yang baru saja pulang haji.
Selain itu, calon haji juga harus membuktikan mereka punya biaya pulang pergi dan biaya untuk keluarga yang mereka tinggalkan di tanah air. Lewat mekanisme ini, mereka yang baru pulang haji bakal melalui serangkaian ujian.
Apabila lolos ujian, maka wajib menyantumkan gelar haji dalam sapaan atau nama. Sekaligus juga diwajibkan mengenakan pakaian khas orang haji, yakni jubah ihram dan sorban putih.
Akibat Merebaknya Semangat Pan Islamisme
Namun 30 tahun kemudian atau tahun 1889, Snouck Hurgronje mengkritik tajam kebijakan haji pemerintah kolonial Belanda. “Snouck berpendapat bahwa jamaah haji yang datang dari Mekkah tidak perlu dikhawatirkan karena kecil sekali kemungkinannya terpengaruh ide Pan Islammisme,” kata Miftah.
Atas kritik Snouck itu, pemerintah kolonial Belanda akhirnya menghapus peraturan tentang ujian dan pemakaian gelar Haji. Namun pengawasan terhadap haji semakin ketat.
Beberapa waktu kemudian Belanda mencurigai orang-orang pribumi yang menunaikan ibadah haji otomatis terpapar paham Pan Islamisme. Pencetus konsep dasar Pan Islamisme adalah Jamaluddin Al-Afghani pada akhir abad ke-19.
Pan Islamisme merupakan salah satu paham pemberontak kolonialisme selain komunis. Sebagai sebuah ideologi politik, Pan Islamisme mengajarkan bahwa umat Islam di seluruh dunia harus bersatu untuk dapat terbebas dari kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat.
Guru Besar bidang Ilmu Sejarah Peradaban Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, Syamsul Bakri menjelaskan, ada dua paham yang kontra kolonialisme pada saat itu. Pertama, kelompok kiri yang popular sebagai komunis, serta Pan-Islamisme.
Kebetulan, Pan Islamisme menyebar dari Tanah Suci, tempat umat Muslim melakukan ibadah haji. Tak heran jika pemerintah Belanda khawatir Gerakan ini membesar di negeri jajahannya.
“Dulu orang haji tidak seminggu, sebulan, tapi bertahun-tahun karena di sana sambil ngaji, sambil bekerja, macam-macam. Ada interaksi orang yang berhaji dari berbagai negara,” tutur Syamsul dalam sebuah wawancara.
Gelar Haji Bukan Penghormatan, Melainkan Penanda
Melihat kronologi itu, penyematan gelar haji bukanlah gelar penghormatan. Sejatinya gelar itu semata taktik dan strategi kolonial Belanda terhadap umat Muslim yang baru pulang beribadah dari Mekkah. Tujuannya untuk memberi penanda sekaligus membatasi pergerakan politik perlawanan terhadap Belanda.
Menguatnya paham Pan-Islamisme kala itu membuat pemerintah kolonial yang takut akhirnya menyematkan gelar Haji sebagai penanda untuk memudahkan pengawasan. “Maka orang-orang yang sepulang haji ditandai dan diberi gelar Haji oleh pemerintah kolonial, menyatu dengan namanya,” imbuh Syamsul.
Arkeolog Islam Nusantara, Agus Sunyoto, mengatakan ordonansi gelar haji mulai muncul di Indonesia sejak tahun 1916. Sejarahnya bermula dari perlawanan umat Islam terhadap kolonial. “Setiap ada pemberontakan, pelopornya slealu guru thariqah, haji, ulama, dan pesantren. Kompeni melihat tiga (unsur) itu sebagai biang kerok pemberontakan yang membuat mereka kewalahan,” papar Agus mengutip laman NU Online.
Penulis buku “Atlas Wali Songo” ini menambahkan, di masa itu pemerintah Belanda sampai kebingungan karena setiap pulang dari Tanah Suci selalu saja terjadi pemberontakan. “Tidak ada pemberontakan yang tidak melibatkan haji, terutama kiai haji, dari pesantren,” imbuhnya.
Sejarawan sekaligus pendiri komunitas Historia, Asep Kambali, dalam unggahan TikTok mencontohkan beberapa tokoh yang sukses menyuarakan perlawanan kolonialisme usai beribadah haji. Antara lain, KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah pada 1912, KH Hasyim Asyari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926, KH Samanhudi pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 1905, dan HOS Cokroaminoto pendiri Sarekat Islam (SI) 1912.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"