KONTEKS.CO.ID – Pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada KH Ahmad Sanusi, dan empat putra terbaik bangsa lainnya pada 7 November 2022. KH Ahmad Sanusi 18 September 1889 di Cantayan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Putra ketiga KH Abdurrahim bin Yasin pengasuh Pesantren Cantayan di Sukabum ini, sejak kecil sudah mondok di berbagai pesantren di wilayah Cianjur, Garut hingga Tasikmalaya. Dan sejak tahun 1910-1915 beliau menimba ilmu di Mekah, Arab Saudi. Dan mendapat gelar imam besar Masjidil Haram.
Ketika di Mekah, Kiai Sanusi telah mengenal ide-ide pembaharuan dari Syeikh Muhammad ‘Abduh, Syeikh Muhammad Rasyid Ridla, dan Jamaluddin al-Afghani, melalui buku-buku dan majalah aliran pembaharuan di Mesir, sehingga pengaruh tersebut menjadikannya ulama pembaharu ketika pulang ke Indonesia.
Namun demikian, ia tetap tidak meninggalkan mazhabnya, ia tetap mengikuti mazhab Syafi’i sebagaimana yang dilakukan kedua gurunya, Syeikh Ahmad Khatib dan Syeikh Mukhtar at-Tarid.
Bahkan dalam bidang ilmu fikih yang juga merupakan keahliannya, Kiai Sanusi terkenal sangat kritis terhadap dalam menentukan hukum Islam.
Sekembalinya dari Mekah, Kiai Ahmad Sanusi membantu ayahnya mengajar di Pesantren Cantayan. Setelah tiga tahun membantu ayahnya, ia mulai merintis pembangunan pondok pesantrennya sendiri yang terletak di Kampung Genteng, sebelah utara desa Cantayan, sehingga ia kemudian dikenal dengan sebutan Ajengan Genteng, Ajengan Cantayan hingga Ajengan Gunung Puyuh.
Pada tahun 1927, Kiai Ahmad Sanusi ditangkap oleh Belanda terkait peristiwa pemutusan jaringan telepon (jalur Sukabumi-Bandung-Bogor). Kiai Ahmad Sanusi kemudian dipenjara di Cianjur selama sembilan bulan.
Dan kemudian, dipenjara berpindah ke beberapa tempat lain seperti Sukabumi dan Tanah Tinggi Batavia Centrum. Falah dalam Riwayat Perjuangan (2009), bahwa alasan penangkapan Ahmad Sanusi dipelopori oleh pemikiran tokoh tersebut.
Kiai Ahmad Sanusi juga merupakan pendiri Al-Ittahadiyatul Islamiyah (AII), sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial kemasyarakatan dan ekonomi. Organisasi ini kemudian dibubarkan oleh Jepang.
Setelah AII dibubarkan Jepang, diam-diam Kiai Ahmad Sanusi mendirikan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII). Dan Pondok Pesantren Syamsul Ulum, Sukabumi.
Kemudian Kiai Ahmad Sanusi menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dan tercatat mengikuti sidang pada tanggal 10-17 Juli tahun 1945 dengan nomor kursi 36.
Dalam sidang BPUPKI tersebut, Kiai Ahmad Sanusi mengungkapkan pendapatnya tentang Indonesia merdeka. Ia menerangkan tentang bentuk Indonesia merdeka yang menganut sistem republik (Wawan Hermawan, Seabad Persatuan Ummat Islam 1911-2011, 2014).
Kyai Ahmad Sanusi wafat pada tangga 31 Julin1950 di usia 64 tahun. Ia wafat tepat lima tahun setelah menyampaikan gagasannya tentang Indonesia saat rapat BPUPKI dan Proklamasi kemerdekaan yang dibacakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta di Jakarta pada 17 Agustus 1945.
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"