KONTEKS.CO.ID – Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghadirkan saksi ahli dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) tahun 2024 yang digelar pada Rabu, 3 April 2024.
Saksi ahli KPU Marsudi Wahyu Kisworo dihadirkan dalam Sidang Perkara Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 & 2/PHPU.PRES-XXII/2024, untuk mengungkap adanya perbedaan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) dalam versi mobile dan versi web.
Marsudi adalah saksi ahli yang tahun 2019 juga dihadirkan dalam sidang untuk memberi penjelasan soal Situng KPU. Kali ini dia diminta KPU untuk memberikan tanggapan terkait dengan Sirekap.
“Jadi kenapa ini setiap tahun sejak 2004, sejak pertama kali teknologi komputer digunakan, sistem penghitungan suara digital selalu dipermasalahkan,” kata Marsudi.
Persoalan terjadi pada 2019, dan pada Pemilu 2024 terulang lagi. Padahal dalam peratuan, bahwa suara yang sah adalah hasil penghitungan suara berjenjang.
“Ekstremnya, jika Sirekap itu tidak ada, tidak ada pengaruhnya terhadap hasil penghitungan suara,” katanya.
Marsudi mengakui terlibat dalam pembuatan Situng tahun 2019, namun tidak terlbat dalam pembuatan Sirekap tahun 2024.
Diakui bahwa ahli ini mendapat informasi tentang Sirekap dari development. Sesuai dengan aturan, Sirekap adalah perangkat aplikasi berbasis teknologi informasi sebagai saranan publikasi hasil penghitungan suara dan proses rekapitulasi hasil penghitungan suara serta alat bantu dalam pelaksanaan rekapitullasi.
Ahli kemudian menyampaikan perbedaan tentang Sirekap mobile yang secara secara umum dapat diakses oleh petugas KPPS untuk menggunggah formulir hasil.
“Jadi yang digunakan KPPS mengupload data itu Sirekap mobile yang ada di dalam HP atau telepon seluler kemudian masuk ke Sirekap web. Di Sirekap web ini direkapitulasi dan kemudian ditampilkan dalam web info pemilu 2024 itu,” ujar Marsudi.
Dijelaskan bahwa data itu masuk dalam Sirekap mobile, dan konsolidasi rekapitulasi dilakukan dalam Sirekap web.
Kemudian masalah pertama dalam Sirekap mobile mengambil data dari form C1 Hasil, yang isinya dibuat dengan tulisan tangan.
Hasil itu kemudian diproses menggunakan teknologi OCR atau Optical Character Recognation (OCR) merupakan teknologi dalam Sirekapyang bertugas untuk membaca data dari formulir C hasil.
Ini menjadi permasalah karena menjadi problem pertama dalam Sirekap. Terlebih menurut ahli, setiap petugas memasukan data memiliki gaya tulisan tangan yang berbeda.
“Ada 822.000 TPS yang pasti orangnya berbeda dan tulis tangannya berbeda. Stylenya saja bisa berbeda, ada menulis angka 4 seperti kursi terbalik, ada yang tertutup atasnya, demikian angka lain, 1 ada yang menggunakan topi ada yang tidak,” katanya.
Masalah kedua terjadi karena Sirekap mobile harus diinstal pada telepon genggam KPPS. Dan setiap ponsel petugas juga memiliki kualitas gambar yang berbeda.
“Ada handphone yang kualitas kameranya sangat bagus, ada yang kurang bagus,” katanya.
Masalah ketiga adalah dari kertasnya sendiri. Bahkan ada kertas yang terlipat dan dapat menimbulkan kesalahan oleh OCR yang bukan manusia dan dapat memperkirakan angka.
“Dia hanya patuh kepada training data. Jadi dia diberikan data tulisan tangan angka 1, 2, 3 dan seterusnya, tapi kalau gambarnya seperti ini jadi masalah,” katanya.
Karena itu, pada masalah ketiga ini, yang dapat menjelaskan kenapa tampikln di web antara angka dan web itu antara angka dengan C1 bisa berbeda.
“Karena menjadi sarana transparansi, ketika terjadi perbedaan atau keluahan di masyarakat, KPU segera mengoreksi untuk melakukan tindakan korektif,” katanya.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"