KONTEKS.CO.ID – Sebanyak 50 tokoh mendesak ketua umum partai politik untuk segera mendorong pangajuan hak angket dugaan kecurangan pemilu 2024.
Surat dari tokoh-tokoh trsebut ditujukan kepada Ketum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Ketum Partai Nasdem Surya Paloh, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, Presiden PKS Ahmad Syaikhu, dan Ketum PPP Muhamad Mardino.
Mereka yang menandatangani surat tersebut adalah tokoh dari latar belakang yang berbeda. Mereka marasa memiliki concern terhadap kondisi hukum dan demokrasi Indonesia saat ini.
Tokoh-tokoh itu antaranya adalah Bivitri Susanti, Feri Amsari, Usman Hamid, Faisal Basri, Haris Azhar, Suciwati, seniman Melenie Subono, sampai komika Pandji Pragiwaksono.
Kemudian ada juga Dandhy Laksono, Farid Gaban, Eko Prasetyo, Saut Situmorang, Abraham Samad, Abdullah Hehamahua, Busyro Muqoddas, dan masih banyak tokoh lainnya.
Dalam suratnya, mereka meyampaikan bahwa partai politik memiliki peran penting merealisasikan hak angket pemilu. Karena itu, sudah seharusnya partai politik mendorong hak angket untuk menyelidiki kecurangan pemilu.
Menurut mereka telah terjadinya praktik-praktik kecurangan pemilu Bukan hanya pada saat hari pencoblosan 14 Fabruari 2024, tetapi juga sejak awal proses penyelenggaraan pemilu hingga pasca pelaksanaan proses penghitungan suara oleh KPU.
Antusiasme rakyat untuk memilih dan menyambut pemimpin baru (presiden dan wakil presiden) serta anggota dewan seolah menjadi runtuh, ambruk dan roboh karena dugaan kecurangan makin sempurna
Jika dilakukan pembiaran atas fakta kecurangan di atas, hal itu akan membuat hukum dan penegakannya dihinakan serta demokrasi makin terjungkal dan menjadi terperosok hingga tidak lagi dari, untuk dan oleh rakyat.
“Kami sangat meyakini dan mempunyai harapan yang sangat besar, para partai politik akan menyelematkan bangsa ini sehingga dengan sengaja terlibat intensif untuk menjaga hukum, penegakan hukum dan demokrasi serta demokratisisi di Indonesia dengan menyelamatkan Pemilu 2024,” begitu penutup bunyi surat mereka pada Jumat, 8 Maret 2024.
Saat ini baru tiga anggota DPR yang berusara soal hak angket yang sebelumnya diwacanakan oleh calon presiden Ganjar Pranowo. Mereka dari Fraksi PDIP, PKB dan PKS.
Anggota DPR dari Fraksi PDIP, Aria Bima, mengatakan hak angket akan mengoptimalkan fungsi pengawasan komisi, penggunaan hak angket, ataupun hak interpelasi untuk mengusut dugaan kecurangan di Pemilu 2024.
“Kami berharap pimpinan menyikapi dalam hal ini, mau mengoptimalkan pengawasan fungsi komisi atau interpelasi, atau agket, atau apapun. Supaya pemilu ke depan, kwalitas pemilu ke depan itu harus ada hal-hal yang di lakukan dengan koreksi,” katanya.
“Mengoreksi aturan-aturan kita maupun mengoptimalkan pengawasan kita sebagai anggota legislatif yang tidak ada taringnya, yang tidak ada muruahnya di dalam pelaksanaan pemilu kemarin,” kata Aria Bima lagi.
Anggota Komisi II DPR RI, Aus Hidayat Nur menyampaikan, hak angket perlu untuk mengklarifikasi kecurigaan dan praduga masyarakat atas sejumlah permasalahan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.
“Munculnya berbagai kecurigaan dan praduga di tengah masyarakat perihal terjadinya kecurangan dan pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu perlu direspons DPR RI secara bijak dan proporsional,” katanya.
Aus Hidayat menambahkan, hak angket adalah salah satu instrumen yang dimiliki DPR dan diatur dalam Undang-Undang Dasar, dan undang-undang bisa digunakan untuk menjawab kecurigaan dan praduga itu secara terbuka dan transparan.
Jika memang kecurigaan atau praduga masyarakat untuk terbukti bisa ditindaklanjuti sesuai undang-undang dan jika tidak terbukti ini bisa mengklarifikasi dan menjaga integritas pemilu sehingga kita bisa meresponnya secara bijak dan proporsional,” ujarnya.
Dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-13 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2023-2024 di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Anggota Komisi VI Fraksi PKB, Luluk Nur Hamidah, ikut menginterupsi sidang paripurna DPR terkait hak angket. Dia menyebut, pemilu 2024 sebagai pemilu paling brutal sejak reformasi.
“Sepanjang pemilu yang saya ikut semenjak 1999, saya belum pernah melihat ada sebuah proses pemilu yang sebrutal dan semenyakitkan ini,” katanya.
“Di mana etika dan moral politik berada di titik minus, kalau tida bisa dikatakan di titik nol. Silent majority saya kira akan sepakat dengan kita untuk melakukan langkah-langkah konstitusional, apapun langkah-langkah itu. Dan hari ini kami menerima begitu banyak aspirasi dari berbagai pihak bahwa DPR hendaklah menggunakan hak konstitusional melalui hak angket,” ujarnya lagi.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"